Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), salah satu kawasan hutan tropis terpenting di dunia sedang menghadapi ancaman serius akibat meningkatnya frekuensi bencana hidrologi seperti banjir dan tanah longsor. Kondisi ini diperburuk oleh deforestasi dan degradasi lahan yang terus terjadi di wilayah tersebut.
Fenomena ini jadi peringatan keras, mengingat KEL merupakan kawasan konservasi terpenting dan jadi paru-paru dunia, tempat perlindungan bagi keanekaragaman hayati, juga menjadi penopang kehidupan bagi jutaan orang di sekitarnya.
Bencana tidak hanya mengganggu ekosistem di KEL, juga berdampak luas terhadap tatanan sosial masyarakat, menghambat aktivitas ekonomi hingga konflik sosial bisa saja terjadi. Karena adanya kompetisi atas sumber daya yang terbatas, seperti air bersih dan tempat tinggal yang dapat menimbulkan ketegangan antar komunitas dalam jangka panjang.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) yang dikumpulkan oleh digdata.id menunjukkan pada 2024, dari total kejadian bencana 273 kali, 173 bencana atau setara 63 persennya terjadi di kabupaten yang berada dalam KEL.
Mirisnya, 44 persennya bencana yang terjadi di Aceh adalah bencana hidrologi, seperti banjir, banjir bandang, longsor dan angin puting beliung. Celakanya lagi, 75 persen kejadiannya berada dalam kabupaten yang ada KEL. Tentu ini petaka yang menghantui benteng terakhir ekologi Aceh yang sudah diakui dunia sebagai paru-paru dunia.
Bila ditelisik lebih dalam berdasarkan jenis bencana, banjir dan banjir bandang yang merupakan bencana hidrologi 79 persen kejadian dalam kabupaten yang memiliki KEL. Begitu juga dengan longsor, justru 86 persen kejadian berada di benteng ekologi Aceh dan angin puting beliung sebanyak 62 persen kejadian berada dalam KEL.
Dosen Konservasi Lingkungan Fakultas Teknik, Universitas Serambi Mekkah (FT USM), T.M. Zulfikar mengungkapkan, penggundulan hutan, terutama dalam KEL akan berpotensi terjadi bencana ekologi yang menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan hidup.
“Hutan yang terus digunduli dan dihilangkan tentunya akan berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan besar, seperti terjadinya bencana ekologi: banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang lebih sering terjadi,” kata T.M. Zulfikar, Selasa (7/1/2025) kepada digdata.id.
KEL yang merupakan bentang alam penting di dunia dan rumah bagi berbagai spesies endemik yang terancam punah, terus menghadapi tantangan serius akibat deforestasi. Pada tahun 2019, luas KEL di Aceh tercatat sebesar 1.794.320 hektar. Namun, dalam kurun waktu lima tahun, hingga tahun 2024, luas tersebut menyusut menjadi 1.767.541 hektar, mengalami kehilangan hutan seluas 26.779 hektar, atau sekitar 1,49 persen.
Penyusutan hutan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk aktivitas perambahan liar, pembukaan lahan untuk perkebunan, pembangunan infrastruktur, serta eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga mengancam keberlanjutan keanekaragaman hayati yang menjadi ciri khas ekosistem ini, seperti harimau Sumatra, orangutan, dan gajah.
Menurut data yang disajikan acehdata.digdata.id, 45,22 persen deforestasi di Aceh terjadi dalam KEL. Angka ini menggarisbawahi pentingnya upaya perlindungan KEL sebagai benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati Aceh dan fungsi ekologisnya. Strategi mitigasi deforestasi perlu fokus pada peningkatan pengawasan, penegakan hukum, dan keterlibatan masyarakat lokal untuk menjaga keberlanjutan kawasan ini.
“Berbagai langkah yang seharusnya dilakukan untuk menyelamatkan KEL antara lain memastikan tegaknya supremasi hukum. Seperti menghentikan terjadinya berbagai perambahan liar, illegal logging, dan pelanggaran izin,” kata T.M. Zulfikar.
Sejak 2018 hingga 2023, Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 72.287 hektar. Dari jumlah tersebut, 32.688 hektar terjadi di KEL, yang merupakan kawasan strategis nasional sekaligus benteng ekologi Aceh untuk mendukung fungsi paru-paru dunia.
Menurut T.M. Zulfikar, secara ekologis, KEL adalah penyangga kehidupan yang vital bagi Aceh, Indonesia, bahkan dunia. Menyelamatkan KEL berarti menjaga keseimbangan ekosistem, ketersediaan air, dan mitigasi perubahan iklim serta bencana hidrologi. Disamping itu secara sosial juga akan melindungi hak-hak masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada hutan.
Baca Juga:
KEL Kian Terancam, Mengundang Bencana Ekologi (1)
Mafia Kayu ‘Sepanyol’ di Hutan Tamiang
Dampak tingginya angka deforestasi cukup berhubungan dengan kejadian bencana hidrologi yang mayoritas terjadi dalam KEL. Kabupaten Aceh Tenggara misalnya, merupakan daerah yang paling banyak mengalami bencana banjir dan banjir bandang.
Data dari BPBA, dari total bencana banjir dan banjir bandang di Aceh sebanyak 72 kejadian, 17 persen kejadiannya di Kabupaten Aceh Tenggara yang merupakan daerah berada dalam KEL dan menduduki peringkat pertama. Disusul Kota Subulussalam 7 kejadian, lalu Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Gayo Lues masing-masing 6 kejadian dan semua daerah tersebut berada dalam KEL.
Data ini semakin menguatkan bahwa deforestasi berkontribusi signifikan terhadap peningkatan bencana hidrologi, seperti yang terjadi di kabupaten-kabupaten dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
“Hutan yang terus digunduli dan dihilangkan tentunya akan berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan besar, seperti terjadinya bencana ekologi: banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang lebih sering terjadi,” jelasnya.
Pakar Tata Ruang Universitas Syiah Kuala (USK), Ir. Zainuddin, S.T., M.Sc pada Muzakarah Kebijakan Ruang Aceh Berkeadilan Ekologis, Selasa (24/12/2024) yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menyebutkan, salah satu akibat ahli fungsi lahan yang tidak sesuai dengan rencana akan terjadi bencana banjir.
“Deforestasi dan alih fungsi lahan mengurangi daya serap tanah terhadap air, memperburuk erosi, dan mempersempit daerah resapan air, sehingga memperburuk risiko banjir. Penataan ruang wilayah (RTRW) Aceh sering terganggu oleh aktivitas yang tidak sesuai dengan rencana, seperti penambangan ilegal, yang mengganggu ekosistem dan memperburuk pengelolaan lahan,” jelasnya.
Untuk mengatasi berbagai bencana, terutama bencana hidrologi dampak dari alih fungsi lahan. Zainuddin menyebutkan, konsep tata ruang berkeadilan ekologis dan prinsip pembangunan berkelanjutan. Penataan ruang yang berkeadilan ekologis bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
“Pendekatan ini memastikan bahwa kemajuan tidak mengorbankan keberlanjutan ekosistem yang menjadi penopang kehidupan,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Zainuddin menekan pentingnya melibatkan berbagai stakeholder dalam proses perencanaan tata ruang untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan nyata di lapangan. Memperkuat perlindungan terhadap KEL dan satwa liar melalui kerangka hukum yang jelas dan tegas sangat penting untuk mencegah aktivitas yang merusak lingkungan.
“Implementasi regulasi yang efektif, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dapat mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan,” jelasnya.
Hal lain yang tak kalah penting menurut Zainuddin pemerintah harus memperkuat basis data tata ruang dengan meningkatkan koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat. Ini akan menghasilkan data yang akurat dan terbarukan, mempermudah pengambilan keputusan, serta mengurangi ketidaksinkronan dalam perencanaan tata ruang.
Sementara itu, T.M. Zulfikar, dosen konservasi lingkungan FT USM menyebutkan, RTRW Aceh menjadi kunci untuk menyelamatkan KEL dari kehancuran dan memperkuat upaya konservasi di kawasan tersebut. “Dokumen tersebut (RTRW Aceh) bisa menjadi alat yang sangat penting untuk melindungi KEL dari ancaman dan kerusakan,” tegas T.M. Zulfikar.
Namun, tantangannya, sebut T.M. Zulfikar untuk memastikan bahwa apakah komitmen dan wawasan tersebut dimiliki oleh pihak yang diberikan mandat, baik eksekutif maupun legislatif. Atau justru bias akibat adanya kepentingan lain yang tidak terungkap. Tapi harapannya jangan sampai kepentingan ekonomi justru mendominasi pembahasan, sehingga dapat diyakini kepentingan sosial dan nilai ekologis KEL benar-benar dapat diakomodir.
“Tentunya sangat penting sekali KEL diselamatkan dan diatur dalam Raqan RTRW Aceh. Dari sisi kepentingan ekonomi, KEL bisa menjadi sumber ekonomi berkelanjutan melalui konservasi, ekowisata, dan jasa lingkungan,” jelasnya.
Secara kajian akademis juga banyak penelitian menunjukkan bahwa kerusakan KEL berdampak langsung pada kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, keberadaan KEL dalam Raqan RTRW Aceh adalah bentuk tanggung jawab jangka panjang untuk melindungi aset lingkungan yang tak tergantikan.
“Dengan upaya kita bersama, terutama dengan memastikan KEL diatur secara tegas dalam Raqan RTRW adalah langkah krusial untuk mencegah kerusakan hutan dan lingkungan Aceh yang lebih besar di masa depan,” tutupnya.[acl]