Belasan surat tiba di Sekretariat KontraS Aceh, dan kemudian ditempel di sebuah papan. Surat dikirim dari warga yang sebelumnya menjadi korban langsung dari konflik Aceh. Ada perempuan kehilangan suami, ada anak kehilangan ayah. Isi surat sebagian besar sama, mereka masih bermimpi akan adanya perhatian dan kepedulian dari pemerintah untuk mereka, paling tidak pemulihan hak-hak korban.
Salah satu surat itu berasal dari Ema, warga Bener Meriah. Isinya selain sedikit flashback masa lalu, ia juga menekankan agar bisa memberi perhatian kepada semua korban konflik, tidak hanya mengumpulkan data-data saja, dan data itu hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, bukan dengan sigap memulihkan kondisi korban.
“ Kehadiran pemerintah memang sudah ada, namun kehadiran mereka seolah hanya mementingkan data kami, tanpa ada tindak lanjutnya yang jelas, tapi kami tetap berusaha untuk bisa bangkit tanpa harus berharap kepada siapapun, kami sekeluarga harus bangkit dari keterpurukan,” isi sebagian dari surat Ema.
Ema, membacakannya langsung dihadapan pengunjung kegiatan Letter of Hope di Sekretariat KontraS Aceh, Sabtu lalu.
Letter of Hope, memang kegiatan mengingat 17 tahun Damai Aceh, namun khusus ditujukan pada generasi muda, agar mereka bisa memahami sejarah yang pernah terjadi di Aceh.
Pada aksi Letter of Hope, Koordinator KontraS, Hendra Saputra,masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk memulihkan hak-hak korban konflik di Aceh. “Sudah 17 tahun, seharusnya 2/3 bagian dari upaya pemulihan itu sudah selesai, tinggal menyelesaikan sisanya saja, tapi ini justru masih banyak pekerjaan rumah yang masih menumpuk belum diselesaikan,” jelas Hendra.
“ Coba saja cek, yang hari ini yang diharapkan oleh korban itu bukanlah bantuan sosial, tapi pengakuan terhadap hak-hak mereka, karena kalau kita berkata atas nama hak, maka satu-satunya hak mereka adalah untuk mengetahui kenapa mereka dipenuhi haknya,” ujarnya.
Yang juga perlu dilakukan sebagai upaya pemenuhan hak korban, sebut Hendra, adalah pemulihan. “ Seperti yang kita dengar dalam diskusi ini, ternyata upaya pemulihan terhadap korban itu masih jauh. Korban masih banyak yang trauma, dan harusnya negara hadir untuk melakukan pemulihan trauma ini, karena upaya pemulihan trauma ini tidak bisa dilakukan mandiri oleh korban,” katanya
Hendra Saputra juga menegaskan ada satu catatan penting pada 17 tahun damai aceh, yang perlu digaris bawahi dalam pemenuhan HAM yang ada pada MoU Helsinki. “ Yaitu, pembentukan pengadilan HAM untuk penyelsaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh. Meskipun pemerintah sudah membentuk KKR di Aceh tahun 2016, tapi belum jelas terlihat itikad baik pemerintah, sejauh mana upaya baik pemerintah, karena KKR dari awal tidak diberi dukungan yang maksimal, sehingga proses-proses pendokumentasian korban tidak bisa berjalan optimal,” kata Hendra.
Hendra mengingatkan, jika pekerjaan rumah ini belum juga diselesaikan, bukan tidak mungkin kondisi ini bisa jadi bom waktu suatu saat untuk pemerintah dan negara. (Yan)