Ada Dugaan Penyelundupan Manusia di Tengah Derita Rohingya

Zakaria sendiri sudah merencanakan pertemuan ini sejak jauh hari. Ia bahkan mengaku membayar agen penyelundup manusia untuk membawa istri dan anak-anaknya naik kapal dari Cox’s Bazar ke Aceh.

“Saya bayar Rp20 juta untuk mereka pergi naik kapal kayu,” kata Zakaria untuk BBC News Indonesia.

Ia rela merogoh kocek di tengah segala keterbatasan. Apa pun demi bertemu dengan keluarganya yang sudah terpisah bertahun-tahun.

“Saya di sini kerja serabutan saja, tak ada uang, dan baru sembuh sakit. Kalau ada uang, saya mau ketemu mereka,” kata Zakaria.

Kisah Zakaria ini muncul di tengah gaduh dugaan kasus penyelundupan manusia di balik gelombang pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh dalam beberapa pekan belakangan.

Sejak pertengahan November lalu, lebih dari 1.000 pengungsi Rohingya membanjiri Tanah Rencong. Mereka datang dalam tujuh gelombang kapal.

Ketika otoritas setempat pontang-panting mencari tempat penampungan untuk para Rohingya, kepolisian Aceh Timur menangkap seorang sopir truk yang diduga menyelundupkan 36 pengungsi.

Berdasarkan keterangan sopir truk itu, para Rohingya tersebut sebenarnya berangkat bersama rombongan berisi 275 orang yang menumpangi satu kapal besar. Namun kemudian, 36 pengungsi itu dipindahkan ke kapal yang lebih kecil.

Setibanya di daratan Aceh Timur pada 19 November 2023, mereka dijemput dua truk mini yang sedianya bakal membawa mereka ke lokasi berikutnya.

Menurut Kapolres Aceh Timur, AKBP Andy Rahmansyah, sopir yang ditangkap mengaku dijanjikan uang Rp15 juta untuk menjemput Rohingya tersebut.

Andy menduga Indonesia bukanlah negara tujuan akhir 36 pengungsi Rohingya tersebut.

“[Mereka] dibawa ke provinsi lain. Dari provinsi lain, kita belum tahu mau dibawa ke mana karena kita belum melakukan penyelidikan karena masih terputus dengan saudara L tadi,” ujarnya.

Jika berkaca pada pengalaman sebelumnya, indikasi sindikat penyelundup manusia mencari untung di tengah penderitaan para pengungsi sebenarnya sudah mulai terendus sejak 2015, ketika Rohingya mulai kabur akibat persekusi di Myanmar.

Dirreskrimum Polda Aceh, Kombes Ade Harianto, membeberkan bahwa sejak 2015, jajarannya sudah menangani lebih dari 20 kasus dugaan penyelundupan pengungsi dengan total 24 tersangka.

“Modusnya hampir sama, yaitu Rohingya masuk ke Aceh kemudian mencari jalan untuk melarikan diri, khususnya ke Malaysia. Karena memang diduga sudah banyak saudara dan kerabatnya berada di Malaysia,” ucap Ade.

Tak diketahui pasti Zakaria memang membayar agen untuk mengantar keluarganya ke Malaysia atau tidak. Namun yang pasti, kisah Zakaria memperkuat dugaan campur tangan sindikat dalam deras arus pengungsi ke Aceh.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga mengakui bahwa kebaikan Indonesia yang masih terus mau menampung Rohingya kerap dimanfaatkan para penyelundup untuk kemonceran bisnis mereka.

Lembaga pemantau hak pengungsi Rohingya, Arakan Project, menganggap bisnis sindikat ini juga menjamur karena faktor yang mendorong para pengungsi dari kamp di Cox’s Bazar kian besar.

Direktur Arakan Project, Chris Lewa, mengendus indikasi ini dari proporsi jenis kelamin para pengungsi yang membanjiri Aceh. Sebelumnya, kapal-kapal Rohingya disesaki para pemuda yang ingin mencari kerja di Malaysia.

Para pengungsi sebenarnya tidak diperbolehkan bekerja di Malaysia. Banyak dari pengungsi itu lantas berjualan atau bekerja serabutan, seperti Zakaria.

Namun belakangan, fenomena itu berubah. Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat 70 persen pengungsi Rohingya yang datang kali ini merupakan perempuan dan anak, layaknya keluarga Zakaria.

“Itu menunjukkan bahwa faktor pendorong mereka untuk keluar dari Bangladesh sudah lebih kuat dibanding faktor ekonomi yang selama ini menarik mereka ke Malaysia. [Sekarang], yang penting mereka bisa keluar dari kamp,” kata Lewa.

Bagaimana Situasi di Bangladesh Sekarang?

Tak hanya Arakan Project, lembaga swadaya yang dipimpin oleh pengungsi Rohingya, Youth Congress Rohingya (YCR), juga melaporkan bahwa situasi di kamp-kamp Bangladesh memang sangat buruk.

Situasi begitu buruk, sampai-sampai para pengungsi mengatakan bahwa kondisi Cox’s Bazar lebih parah ketimbang di Myanmar, negara yang awalnya mereka hindari hingga harus kabur ke Bangladesh.

Di Cox’s Bazar, kelompok-kelompok kriminal kerap bertikai untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga acap kali meminta duit dari para pengungsi.

Jika tak mau memberikan uang, nyawa para pengungsi bisa melayang. Pengungsi penyandang disabilitas yang ditemui BBC di Lhokseumawe, Rohima Khatoum, tahu betul bahwa ancaman itu bukan omong kosong.

“Mereka menahan anak saya yang kecil, dan mengatakan kepada saya bahwa jika saya tidak memberikan uang, dia akan membunuhnya. Mereka sudah membunuh satu anak saya dan membuangnya ke toilet,” ucap Rohima memicingkan matanya.

Yasmin yang selalu mengamati ketika Rohima bercerita juga ternyata membawa kisah kelam dari Bangladesh.

Sebelum kehilangan anaknya dalam perjalanan ke Aceh, ia sudah lebih dulu ditinggal saudaranya karena kekejaman kelompok-kelompok di Cox’s Bazar.

Sembari menahan air mata yang sudah menggumpal di pelupuknya, Yasmin berkata, “Mereka membunuh saudara laki-laki saya. Suami saya punya tumor dan dia meninggal di kamp.”

Perwakilan UNHCR Bangladesh, Sazzad Hossain, mengatakan bahwa pihaknya juga sudah mengetahui peningkatan kekerasan di kamp-kamp di Bangladesh.

“Kami mengetahui peningkatan jumlah insiden keamanan dan tim kami bersama rekan-rekan lainnya mencatat lebih dari 1.400 insiden perlindungan serius tahun ini,” ujar Hossain kepada BBC News Indonesia.

Meski demikian, Hossain dan rekan-rekannya dari UNHCR tak berdaya. Menurutnya, hanya aparat negara setempat yang memiliki kewenangan untuk menindak pelaku kejahatan.

Ia khawatir situasi akan semakin runyam ke depannya, mengingat bantuan internasional bagi Rohingya juga berkurang hingga sepertiga pada tahun ini, menjadi hanya US$8 atau setara sekitar Rp123.000 per orang tiap bulannya.

“Situasi keamanan di kamp dan kesulitan pengungsi memenuhi kebutuhan dasar, ditambah solusi yang kurang dan eskalasi konflik di Myanmar saat ini, kemungkinan akan menambah keputusasaan yang memicu Rohingya melakukan perjalanan laut berbahaya,” katanya.[acl] Sumber: BBC News Indonesia.

Baca Juga:

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.