Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia menilai bahwa Indonesia tidak efektif menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dalam mengatasi krisis iklim serta mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.
Justru teknologi ini selain berbiaya mahal, penuh resiko dampak terhadap lingkungan juga memperpanjang hidup industri bahan bakar fosil. Faktanya keberadaan teknologi tersebut yang sudah diimplementasikan di belahan dunia, belum mampu memitigasi pemanasan global.
Menurut analisis Copernicus Climate Change Service, tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan suhu rata-rata global bulan Juli 2023 melampaui bulan terpanas sebelumnya pada Juli 2019 sebanyak 0,32°C. Secara keseluruhan, suhu bulan Juli 2023 diperkirakan meningkat sekitar 1,5°C dibandingkan rata-rata suhu pada 1850-1900.
Baca: 2023 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah Dunia
Data tersebut menunjukkan bahwa, kendati teknologi CCS sudah ada sejak 1970-an, krisis iklim tidak tertangani. Kondisi suhu dunia terus meningkat, ini merupakan bentuk kegagalan teknologi tersebut dalam mengatasi perubahan iklim serta teknologi tersebut membutuhkan biaya yang besar dibandingkan dengan energi terbarukan.
Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional, Dwi Sawung, dalam diskusi Bagaimana CCS/CCUS Memperburuk Krisis Iklim dan Memperpanjang Derita Rakyat di Jakarta Selatan, Senin, 29/7/2024 mengatakan, CCS memiliki sejarah panjang tantangan teknis dan finansial yang mahal, mengakibatkan proyek-proyek tersebut gagal.
“Ada banyak dokumentasi kegagalan proyek-proyek CCS/CCUS di dunia,” kata Sawung.
Ia mencontohkan, proyek Gorgon di Australia, target serapan karbonnya meleset sebesar 5,23 juta ton dan harus menambah biaya hingga US$184 juta atau dalam rupiah sekitar Rp 1,9 triliun. Lalu proyek CCS di Aljazair harus dihentikan pada tahun 2011 karena kekhawatiran kemungkinan kebocoran.
Selain itu ada juga proyek CCS Sleipner di Norwegia, saat itu CO2 yang telah disuntik ke perut bumi, bermigrasi naik ke lapisan atas lebih cepat dari yang diperkirakan.
Sawung juga memaparkan, laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyebutkan, dari 13 proyek CCS/CCUS andalan berskala besar di dunia yang bertanggungjawab lebih separuh operasi CCS/CCUS, hanya menghasilkan total 39 juta ton CO2 per tahun. Angka ini hanya sekitar 1/10.000 dari total 26 miliar ton emisi yang dibuang ke atmosfer pada tahun 2021.
“Fakta ini menunjukkan kegagalan teknologi CCS dalam mengatasi krisis iklim untuk mengurangi emisi lepas ke atmosfer,” tegasnya.
Kepala Divisi Simpul dan Jaringan JATAM, Imam Shofwan menambahkan, teknologi CCS/CCUS akan memperburuk kondisi lingkungan. Karena dapat memberi dampak terhadap peningkatan tekanan air, pengasaman luut dan kemungkinan memicu gempa bumi akibat penginjeksian CO2 ke bawah tanah.
“Tentu juga beresiko terhadap kesehatan makhluk hidup bila terjadi kebocoran CO2,” tegasnya.
Selain itu, kata Imam Shofwan, teknologi CCS/CCUS umumnya dipakai untuk meningkatkan perolehan minyak dan gas. Karena CO2 yang ditangkap, lalu disuntikkan ke ladang minyak atau gas untuk meningkatkan jumlah minyak mentah atau gas yang diekstraksi.
Baca: CCS Perpanjang Usia Energi Fosil di Indonesia
“Jadi alih-alih menurunkan emisi, justru memperpanjang dan mendorong peningkatan produksi bahan bakar fosil,” tukasnya.
Imam juga mengingatkan, tragedi kebocoran jaringan pipa transportasi CO2 dari proyek Enhanced Oil Recovery (EOR) di Missisippi, Amerika Serikat pada 2020, harus menjadi peringatan keras untuk Indonesia menerapkan teknologi CCS/CCUS tersebut.
Peristiwa itu, sebutnya, mengakibatkan lebih 200 orang harus dievakuasi dan 45 orang harus menjalani rawat inap, karena keracunan karbon dioksida. “Saat kejadian itu, kondisi korban saat itu seperti dalam Film Zombie, cukup mengerikan,” tegasnya.
Sementara itu Perwakilan Oil Change International di Indonesia, Hikmat Soeriatanuwijaya mengingatkan, masalah dampak jangka panjang bisa muncul dari operasi CCS/CCUS di Indonesia. Karena proyek ini harus memastikan karbon dapat tersimpan dalam keadaan stabil secara permanen, setidaknya hingga 200-300 tahun ke depan.
“Namun siapa yang akan bertanggungjawab terhadap CO2 yang diinjeksi ke dalam tanah serta berbagai permasalahan yang muncul ratusan tahun ke depan,” jelasnya.
Yang Hikmat khawatirkan, dengan resiko yang tinggi, pembiayaan besar untuk mengatasi persoalan dampak buruk CCS/CCUS dalam jangka penjang akan dibebankan kepada negara tempat CO2 diinjeksi. Sehingga pemerintah harus membiayai resiko dampak buruk teknologi tersebut harus mengambil biaya publik untuk mengatasinya. “Akan berdampak buruk kepada generasi-generasi mendatang,” tukasnya.[acl]
Lihat Foto: PLTU Nagan Raya dan Kebijakan Co-Firing Biomassa