Banjir bandang menerjang Desa Ladang Rimba, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Senin (20/11/2023), hingga berdampak jalan nasional lumpuh total. Karena jalan berlumpur dan bongkahan kayu yang hanyut dibawa air. Dampak banjir tersebut meluas hingga Kecamatan Tapaktuan dan Samadua Aceh Selatan.
Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Aceh selatan Senin malam itu menyebabkan air meluap dan menggenangi pemukiman yang mengharuskan sejumlah warga mengungsi. Bahkan beberapa rumah di Kecamatan Trumon rusak diterjang banjir bandang.
Padahal banjir sebelumnya yang merendam tiga kecamatan lainnya di Aceh Selatan pada Kamis (15/11/2023), dengan ketinggian air 30-120 cm tersebut belum lagi surut.
Banjir yang menggenangi pemukiman di Kecamatan Trumon, Trumon Timur dan Trumon Tengah tersebut merupakan banjir kiriman dari wilayah Aceh Tenggara. Karena secara letak geografis, Kabupaten Aceh Selatan berada pada hilir sungai.
Sehingga menyebabkan luapan sungai Alas di Aceh Tenggara dan Lawe Soraya di wilayah Sultan Daulat Subulussalam mengalir hingga Sungai Lee Soraya dan Krueng Trumon yang berada di DAS Trumon.
Kecamatan Trumon, Trumon Tengah, Trumon Timur merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Trumon yang memiliki luas 53.824 Ha. Sejak 2016-2022 43 persen DAS tersebut mengalami kehilangan tutupan hutan, yaitu sekarang tersisa hanya 30.568 Ha atau sekitar 43 persen luas area DAS yang tidak berhutan lagi sedangkan DAS yang masih ada hutannya tersisa 23.256 Ha.
Begitu juga dengan DAS Kluet mengalami penyusutan dalam 10 tahun terakhir ini sebesar 7 persen dari luas penetapan. Luas DAS ini pertamanya yang ditetapkan pemerintah 298,490 hektar, saat ini hanya tersisa 272,741, artinya mengalami degradasi seluas 25,749 hektar.
Bencana banjir yang melanda di sejumlah kabupaten di Aceh akibat kehilangan tutupan hutan terus terjadi hingga kerusakan DAS. Kabupaten Aceh Selatan misalnya, daerah yang langganan banjir kerusakan tutupan hutan juga cukup parah. Sisa hutan pada 2022 ini hanya 297,251 hektar.
Ada mengalami degradasi hutan di Aceh Selatan seluas 6,490 hektar sejak 2017-2022. Padahal pada 2014 lalu, tutupan hutan di sana relatif masih baik yaitu mencapai 307,774 hektar, kendati ada terjadi penyusutan berdasarkan luas yang ditetapkan pemerintah.
Diperparah lagi DAS yang melintasi Aceh Selatan mengalami kerusakan parah. Bahkan termasuk DAS paling kritis dari 20 DAS harus diperbaiki saat ini di Aceh, yaitu DAS Singkil 66 persen lebih dalam kondisi rusak parah.
Luas DAS Singkil sebagaimana yang ditetapkan pemerintah berdasarkan SK 580 terkait kawasan hutan dan konservasi perairan di Aceh seluas 1,241,775 hekar. Namun sisa tutupan hutan pada 2022 hanya 421,531 hektar. Artinya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mengalami degradasi tutupan hutan di DAS Singkil seluas 820,243 hekar.
Sehingga tidak mengherankan setiap intensitas hujan tinggi melana Aceh Selatan langsung banjir, terutama banjir bandang. Ini karena penurunan kapasitas sungai (pendangkalan) baik di badan sungai maupun muara sungai akibat sedimentasi yang sangat tinggi dan ini menjadi akibat perubahan tutupan lahan di kawasan DAS.
Hal tersebut terjadi dikarenakan bantaran sungai dijadikan lahan perkebunan sawit serta adanya kegiatan ilegal merusak hutan seperti perambahan dan pembalakan liar juga aktivitas tambang.
Akibat berkurangnya tutupan hutan, vegetasi daerah DAS trumon telah berdampak pada bencana banjir. Kawasan Trumon merupakan salah satu wilayah yang sangat rentan terhadap terjadinya bencana banjir. Kerusakan dan alih fungsi hutan disinyalir menjadi penyebab terjadinya penurunan kualitas DAS Trumon. Hal tersebut dikatakan Rasmin masyarakat Kecamatan Trumon Timur.
“Pembukaan lahan untuk kebun sawit di areal Suaka Margasatwa Rawa Singkil masih terjadi, terutama oleh orang-orang dari luar kecamatan. Kami, masyarakat yang hidup dari rawa gambut sebagai nelayan, mulai kesulitan menafkahi keluarga karena dan sering terjadinya banjir hingga berdampak pada kehidupan kami warga Trumon,” kata Rasmin dikutip dari Monggabai yang terbit 5 Januari 2023.
Saat ini, hampir seluruh wilayah DAS di Aceh mengalami kerusakan sangat parah. Dari 954 DAS yang dimiliki provinsi Aceh, 60 persen diantaranya berada di kawasan hutan, 40 persen berada di area penggunaan lain (APL). Dan saat ini ada 20 DAS yang sedang sakit parah, seperti yang terjadi pada Das Jambo aye dan Peusangan yang saat ini sedang kritis.
Banyak faktor yang menjadi penyebab kerusakan, antara lain masih marak berbagai aksi perambahan hutan dan penebangan kayu ilegal. Konversi lahan baik kepentingan perkebunan skala besar maupun pertambangan, tambang skala kecil seperti galian C maupun pertambangan besar, juga menjadi pemicu.
Rusaknya DAS dapat dilihat dari intensitas bencana yang terjadi, khususnya banjir, di DAS tersebut. Sejumlah gampong di sekitar DAS Kluet mulai terancam. Kerusakan hutan dan lingkungan di wilayah hulu menjadi faktor penyebab utama banjir besar di beberapa Kecamatan di Aceh Selatan.
Bencana beruntun ini, merupakan dampak penggunaan tata ruang yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan hidup. Sehingga menyebabkan akumulasi kerusakan terus menerus dan menyebabkan bencana.
Selain itu juga perlu dipastikan seberapa banyak wilayah kawasan hutan yang masih baik dengan luasan kawasan berhutan yang cukup dan mampu menjadi penampung curah hujan menjadi air tanah.
Kerusakan yang sama juga terjadi pada DAS Peusangan yang merupakan sumber air bagi warga Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, Aceh Utara dan Lhokseumawe, yang secara geografis hulu DAS-nya berada di Aceh Tengah.
Kerusakan itu telah terjadi sejak lama, Ketua Umum Forum DAS Krueng Peusangan (FDKP) Suhaimi Hamid mengatakan, DAS Peusangan dan DAS Jambo Ayee merupakan kawasan yang sudah rusak parah akibat Tingginya deforestasi seperti illegal logging, pembukaan lahan pertanian dan perkebunan, serta pembukaan pemukiman warga secara ilegal mengakibatkan kerusakan DAS semakin parah.
Ia mengatakan tingginya intensitas banjir yang terjadi selama ini di kawasan Aceh Tengah, Gayo Lues, Linge, Aceh Timur, dan Aceh Utara merupakan dampak dari kerusakan hutan di DAS yang cukup parah.
Menurut Suhaimi, banjir yang biasanya setahun hanya satu hingga dua kali, di lima tahun terakhir ini semakin meningkat kejadian banjir dalam setahun bisa tiga hingga lima kali di setiap wilayah, karena kerusakan DAS semakin parah.
Selain itu, Suhaimi juga mengatakan banjir yang melanda Aceh Utara dan Aceh Timur pada akhir tahun 2022 dan awal tahun 2023 lalu merupakan dampak pengelolaan DAS Peusangan, DAS Jambo Aye dan Keureuto yang buruk.
“Jika hal ini terus dibiarkan tanpa ada perbaikan maka bencana banjir dan longsong akan sering terjadi setiap hujan dengan intensitas ringan dan tinggi,” kata Suhaimi seperti dikuti media online RMOL.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai, salah satu yang cukup memantik terjadinya banjir setiap tahun di Aceh, selain degradasi tutupan hutan, diperparah dengan DAS yang semakin kritis yang membutuhkan perbaikan segera.
Menurut Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Aceh mengatakan, kabupaten yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir dan longsor maupun berbagai jenis lainnya.
Afif juga mengatakan, pembukaan jalan baru di kawasan hutan juga menjadi pemicu terjadinya banjir akibat adanya illegal logging maupun konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya.
“Intensitas banjir yang terjadi di Aceh Tenggara sepakan ini membuktikan bahwa kerusakan hutan semakin masif terjadi di Aceh,” kata Afifuddin Acal.
Saat ini ada 20 DAS yang masuk dalam kategori kritis dan perlu ada perbaikan segera. Yaitu DAS Jambo Aye luas awalnya 479.451 hektar, kini tersisa 44,71 persen. DAS Peusangan yang luasnya 245.323 kini hanya tersisa 75,04 persen, dan Krueng Tripa dari total luas 313.799 kini hanya tersisa 42,42 persen. Begitu juga dengan kerusakan DAS Tamiang dari luas 494.988 kini tersisa hanya 36.45 persen.
Parahnya kerusakan tutupan hutan di DAS telah berdampak terjadi berbagai macam bencana ekologi di Aceh. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), pada 2019 jumlah bencana mencapai 797 kali, meningkat pada 2020 menjadi 802 kejadian. Kemudian intensitas bencana turun pada 2021 sebanyak 665 kali kejadian dan pada 2022 terus turun menjadi 434 kejadian.
Afif menyebutkan, kendati secara statistik intensitas banjir secara kumulatif menurun di Aceh. Namun tidak bisa menjadi alasan Pemerintah Aceh untuk tidak mencari solusi yang konkrit penanganan banjir. Seharusnya pemerintah berkaca pada pengalaman yang sudah berlangsung bertahun-tahun agar dapat mencari solusi mitigasinya.
Pada 2022 lalu, Aceh Selatan merupakan daerah yang kerap dilanda banjir, yaitu berada pada posisi kelima dengan jumlahnya 26 kali. Sedangkan kabupaten yang paling sering banjir adalah Aceh Tengah mencapai 49 kali.
Sementara itu Kepala BPBA, Ilyas mengatakan, hingga September 2023 sudah 61 kali kejadian banjir di Aceh. Dampaknya 38 tanggul rusak, 837 meter badan jalan amblas dan rusak akibat banjir dan longsor.
Agustian dari Teknik Pengairan Madya Balai Wilayah Sungai [BWS] Sumatera I Banda Aceh, membenarkan saat ini daerah paling rawan banjir bandang adalah Aceh Singkil, Aceh Selatan dan Aceh Utara.
Di Aceh Utara, terdapat Sungai Jambo Aye, di Aceh Selatan Krueng Trumon dan di Singkil ada Sungai Alas. Kondisi sungai ini dalam keadaan tidak sehat, sehingga berpotensi mendatangkan bencana.
“Itu karena perambahan hutan, pembalakan liar, dan pengrusakan aliran sungai,” ucapnya seperti yang dikutip media Monggabai 21 September 2021.
Agustian menambahkan, beberapa sungai telah direhabilitasi dengan dibangun tanggul. Langkah ini untuk mencegah luapan air ke pemukiman warga. Bahwa bencana ekologis seperti banjir dan longsor merupakan dampak dari kerusakan hulu sungai. Namun, jika kawasan hulu tidak dipulihkan usaha ini tidak memberi dampak besar terhadap mitigasi. [***]