“gulun” Produk Unggulan Ibu-Ibu di Kawasan Restorasi Tenggulun

Tub..tub..tub…bunyi alu bertumbukan lesung dengan irama ketukan yang teratur. Jari jemari Isah menggepal alu sesekali mengangkat keatas mengumpulkan kekuatan untuk menumbuk parutan pisang dan ubi yang sudah kering, untuk di jadikan tepung.

Setelah halus,  tepung-tepung tersebut di pindahkan kedalam wadah dan di ayak menggunakan selendang, lalu di jemur kembali sebelum di kemas dalam kemasan alumnium foil untuk dijual.

Isah satu dari bayaknya ibu-ibu di Desa Sumber Makmur, merupakan desa pemekaran dari Tenggulun pada 2022. Ia bersama 19 ibu-ibu lainnya tergabung dalam kelompok Cendana binaan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).

Ketua kelompok Cendana Beti sedang memperlihatkan bahan baku pisang yang sudah kering dan siap ditumbuk jadi tepung. Foto: Fitri/digdata.id

Kelompok ini telah berdiri sejak Februari 2022, di tengah derasnya ancaman terhadap hutan, karena peralihan ke perkebunan kelapa sawit. Kelompok ini sengaja dibentuk agar mampu menghasilkan ekonomi kreatif dengan memanfaatkan hasil kebun dan limbah yang ada.

Diantaranya adalah mengolah Ubi dan Pisang yang ada di desa tersebut menjadi makanan dan tepung untuk bahan baku pembuatan kue kering dan kue basah.

Mudahnya menemukan Ubi dan Pisang di desa tersebut, menjadi salah satu alasan kelompok ini untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang bernilai jual tinggi selain itu harga bahan bakunya juga sangat murah sehingga mudah dijangkau. Tepung ini menjadi produk unggulan dari kelompok Cendana.

“karena keduanya memiliki kualitas bagus dan mudah di olah menjadi tepung, lebih bewarna terang dan bahan bakunya juga murah dan mudah didapat.”Jelas Beti ketua kelompok cendana.

Selain itu Beti juga menjelaskan bagaimana cara pengolahannya, pilih terlebih dahulu pisangnya yang tua namun belum matang (masih hijau), bersihkan kulitnya, lalu direndam dengan air perasan jeruk selama 24 jam untuk menghilangkan getah dari pisang agar warna tepungnya bagus.

Kemudian, pisang – pisang tersebut diparut hingga menjadi bagian-bagian kecil dan dijemur selama tiga hari di rumah pengeringan di halaman rumahnya. Setelah benar-benar kering, barulah pisang ditumbuk menggunakan lesung kayu dan diayak menggunakan kain bertekstur lembut.

Setelah jadi tepung, lanjut Beti, dijemur lagi selama satu hari agar tepungnya tidak bau apek setelah itu baru dikemas dalam kemasan khusus yang telah di beri nama gulun.

Tepung Pisang yang sudah di keringkan dan siap untuk dikemas dalam kemasan foil bertuliskan “gulun” Foto. Fitri/digdata.

Menurut Beti, dalam dua pekan, mereka mampu memproduksi 30 kilogram tepung pisang dan tepung ubi. Selan di pasarkan untuk warga lokal, tepung olahan mereka juga sudah di pamerkan di Surabaya dan juga dikiriim ke Bogor Jawa Barat. Sekali pengiriman ke luar daerah sebanyak 20 kilogram.

Untuk harga sendiri, itu berfariasi, ukuran 250 gram dibanderol Rp10 ribu, 500 gram Rp20 ribu dan satu kilogram Rp35 ribu. Sekali pengiriman mereka mendapatkan penghasilan Rp 700 ribu.

“Dulu, kata Beti, bungkusan tepungnya dibuat dari kain ecoprint untuk menjaga lingkungan. Tapi, demi menjaga keamanan konsumen dan keamanan tepungnya, sekarang diganti memakai kemasan foil.”Jelas buk Bet begitu ia biasa di sapa.

Menurut beti untuk mendalami ilmu pengolahan pisang menjadi tepung itu tidak begitu sulit. Kelompok cendana hanya butuh waktu selama dua hari untuk menyerap ilmu dari trainer yang didatangkan pihak HAkA.

“Anggota kelompok diberi pelatihan oleh trainer dari Banda Aceh. Alhamdulillah kami cepat bisa meski ada sebagian yang belum mahir,” terang Beti.

Tepung pisang yang diberi nama gulun itu bisa diolah menjadi berbagai makanan lezat seperti cookies dan brownies atau ditambah sebagai salah satu bahan olahan kue lainnya. Hasil setiap kue memiliki tekstur yang berbeda dibandingkan menggunakan tepung terigu. Begitu juga halnya dengan tepung ubi yang bisa di olah menjadi tiwul, boh rorom atau buah malaka dan bahan campuran untuk kue kering juga kue basah jelasnya lagi.

Untuk pemasarannya sendiri kata Beti, mereka menggunakan media sosial dan promosi dari mulut ke mulut. Untuk media sosial sendiri dikelola oleh anggota kelompok yang muda-muda.

Selain mengembangkan ekonomi kreatif dengan olahan pisang dan ubi menjadi tepung dan makanan lainnya, kelompok ini juga mengolah lidi pohon kelapa sawit menjadi keranjang dan piring dan wadah tempat maknan.

Disela-sela waktu senggang mereka menganyam lidi-lidi tersebut menajdi piring dan tempat buah bahkan menjadi keranjang untuk parcel, satu demi satu lidi-lidi tersebut dijalin hingga bernilai ekonomi.

Dari tangan-tangan terampil para ibu muda inilah lahir wadah unik seperti tempat buah, tempat nasi, atau piring tempat nasi (biasanya dialasi daun pisang) seperti lazim ditemukan di rumah-rumah makan.

Warga memanfaatkan batang-batang lidi itu sebagai bahan utama anyaman handycraft dan sapu.

“Setelah menjadi wadah bernilai ekonomis, baru kita pasarkan. Harga mulai pada kisaran Rp5 ribu hingga Rp20 ribu,” cerita Beti Lestari, 42 tahun, Rabu 12 Desember 2023.

ibu-ibu kelompok cendana Tenggulun sedang bembuat anyaman lidi sawit. Foto: Fitri/digdata.id

Kedepannya para ibu-ibu muda yang tergabung dalam Kelompok Cendana berencana akan membuat perlengkapan rumah tangga dari lidi daun sawit dan produk lain sisa limbah rumah tangga.

“ Lidi-lidi bekas pelepah kelapa sawit itu laku dijual, tapi harganya sangat murah, dan harus banyak. Dengan diolah seperti ini, nilai jualnya jauh lebih tingi dan bisa diolah walaupun sedikit”Jelas ketua kelompok cendana Beti Lestari.

Aktivitas kerajinan tangan ini dikembangkan oleh Cendana sejak wajah Desa Sumber Makmur bersalin dari area hutan menjadi hamparan perkebunan sawit dan tanaman keras lainnya. Sejauh mata memandang, sejauh itu kebun-kebun sawit, penampakannya mirip pohon kurma tumbuh terentang luas di sana.

Menurut data Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Aceh Tamiang, pada 2018 luas perkebunan  yang dikelola perusahaan pemegang hak guna usaha [HGU] tercatat mencapai 46.817 hektare. Sedangkan perkebunan rakyat luasnya mencapai 44.460 hektare. Dari jumlah itu, sebagian besarnya adalah perkebun kelapa sawit.

Binaan HAkA

Ayu Ramadani, pendamping kelompok Cendana dari HAkA, menjelaskan kelompok ini dibentuk pada 2021. Awalnya, HAkA menyasar istri-istri petani di desa untuk memberikan pengetahuan paralegal. Ini karena sering terjadi konflik antara perusahaan dan warga di desa tersebut.

Setelah itu, pada awal 2022, HAkA mulai memperkuat kelembagaan Kelompok Cendana. Saat itu, hanya 18 orang yang mengikuti pelatihan perdana. Kemudian, disusul dengan pembuatan struktur kelompok.

Kelompok Cendana ini diperkenalkan dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Mereka belajar tentang keterkaitan antara hubungan manusia dan sumber daya alam. Dalam waktu bersamaan, mereka juga mendapat pelatihan pengenalan sumber daya alam lokal di dua lokasi yakni restorasi dan pedesaan.

“Ini perlu diberikan karena mereka hidup berdampingan dengan kawasan KEL,” terang Ayu.

Saat training berlangsung, para ibu-ibu Cendana diajak keliling hutan. Mereka menulis apapun yang mereka temukan, kemudian mempresentasikan apa yang menjadi potensinya. Saat itu, ada lima komoditi yang berpotensi, yaitu pisang, sawit, ubi, kunyit, dan tanaman herbal. Kemudian, disaring lagi menjadi tiga, yaitu ubi, pisang, dan sawit.

“Kita datangkan langsung trainer dari Banda Aceh selama dua hari. Walaupun satu dua orang yang bisa, mereka mampu mengajarkan ke anggota lain,” kata Ayu.

Ayu Ramadani, salah satu pendamping kelompok cendana tenggulun dari HAKA. Foto;Fitri/digdata.id

Ayu sangat berharap masyarakat setempat bisa bergantung kepada hutan. Misalnya, lebih menjaga dan mencintai wilayah sendiri, namun tidak dengan cara illegal logging. “Kita mengarahkan mereka lebih ke Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK),” tegasnya.

HAkA sendiri mendukung kelompok Cendana dengan memberikan perlengkapan yang dibutuhkan, bukan dana atau akomodasi. “Dari awal kita sampaikan ke mereka. Di sini tidak dibayar ataupun diminta uang. Kita tidak support dana, namun jika ada workshop dan kebutuhan perlengkapan difasilitasi,” ungkap Ayu.

Kehadiran Kelompok Cendana diharapkan dapat menjadi wadah bagi ibu-ibu untuk berkreasi dan meningkatkan perekonomian keluarga. Selain itu, kelompok ini juga diharapkan dapat menjadi contoh bagi anak-anak di desa untuk lebih berprestasi dan peduli terhadap lingkungan.

Kampung Sumber Makmur memiliki potensi besar untuk menjadi desa makmur. Bahkan, jika warga tekun memanfaatkan limbah sawit dan mengembangkan kreativitasnya, dipastikan desa ini bakal menjadi salah satu desa penghasil kriya berkualitas dan masyhur di Nusantara. ***

 

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.