Karhutla Jadi Ancaman Perubahan Iklim

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) masih menjadi ancaman serius di Indonesia yang berdampak terjadinya deforestasi. Kondisi ini tidak boleh dipandang sebelah mata, karena berpengaruh terhadap perubahan iklim.

Karhutla yang terjadi di Indonesia juga membuat negara rugi. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam laporannya Policy Brief 2020 melaporkan kerugian negara mencapai Rp 72,95 Triliun pada 2019 lalu.

Perhitungan kerugian negara akibat Karhutla di Indonesia ini dilakukan Bank Dunia berdasarkan kebakaran yang terjadi di delapan provinsi prioritas, yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Riau, Kalimantan Barat, Jambi, Kalimantan Timur dan Papua.

Karhutla tidak hanya berdampak hilangnya tutupan hutan dan meningkatnya emisi. Bank Dunia dalam laporannya “Indonesia Economic Quarterly Report (IEQ) juga memperkirakan terjadinya penurunan 0,09 persen dan 0,05 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 dan 2020.

Selain itu juga berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Data September 2019 lalu, lebih 900.000 orang mengalami gangguan pernapasan dampak dari kebakaran dan kabut asap.

Kondisi ini menjadi tantangan berat yang dihadapi Indonesia saat ini. Setiap musim kemarau, kebakaran terus terjadi dan berulang setiap tahunnya. 

Berbagai kajian telah dilakukan, permasalahan terbesar dengan perubahan iklim karena Karhutla masih masif terjadi, sehingga telah meningkatkan emisi gas rumah kaca secara signifikan.

Berdasarkan data analisis dari sipongi.klhk.go.id, luas Karhutla di Indonesia ada hubungannya terhadap peningkatan akumulasi emisi karbon dioksida dalam lima tahun terakhir, yaitu periode 2016-2020. 

Hal itu diketahui dari hasil penghitungan dengan menggunakan rumus koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi kedua faktor tersebut adalah sebesar 0,998 dan bila dibulatkan sangat berkorelasi karena berada pada nilai 1,00.

Bila dianalisis lebih spesifik ke suatu daerah, juga mendapatkan nilai korelasi yang kuat. Kali ini digdata.id menganalisis data dari KLHK terkait korelasi antara Karhutla dan emisi di Provinsi Aceh juga mendapatkan nilai berkorelasi kuat.

Berdasarkan analisis data tersebut diketahui luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Aceh sekitar 9.158 hektar pada 2016, dengan tingkat emisi sebesar 2.859.378 ton CO2e. Luas kebakaran turun pada 2017 seluas 3.865 hektar, dengan emisi juga ikut turun sebesar 2.786.053 ton CO2e.

Luas Karhutla di Aceh pada 2018 kembali turun menjadi 1.284 hektar dan ini berkorelasi dengan tingkat emisi juga mengalami penurunan menjadi 572.104 ton CO2e.

Meskipun pada 2019 luas Karhutla di Aceh mengalami penurunan drastis, yaitu hanya 730 hektar, begitu juga berhubungan erat turunnya tingkat emisi sebanyak 281.520 ton CO2e.

Kemudian luas Karhutla di Aceh kembali melonjak pada 2020 seluas 1.078 hektar, begitu juga berkorelasi meningkatnya emisi sebanyak 361.241 ton CO2e.

Total karhutla sepanjang 2016-2020 seluas 16.116,31 hektar dengan tingkat emisi yang terjadi sepanjang 5 tahun ini sebanyak 6.869.296 ton CO2e di Provinsi Aceh.

Luas karhutla di Aceh  ada hubungannya terhadap peningkatan akumulasi emisi karbon dioksida dalam lima tahun terakhir. Hal itu diketahui dari hasil penghitungan dengan menggunakan rumus koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi kedua faktor tersebut adalah sebesar 0,86.

Berdasarkan kriteria korelasi, jika nilainya mendekati  ‘1’, berarti Variabel X, dan, Variabel Y memiliki korelasi erat atau kuat. Dengan demikian, luas (karhutla) di Aceh pada 2016-2020 berhubungan erat dengan peningkatan akumulasi emisi karbon dioksida dalam lima tahun terakhir.

Begitu juga kriteria korelasi luas (karhutla) di Indonesia pada 2016-2020 berhubungan erat dengan peningkatan akumulasi emisi karbon dioksida dalam lima tahun terakhir.

Kendati demikian laju pertumbuhan emisi 2016-2020 di Indonesia akibat Karhutla mengalami penurunan -0,69 persen. Meskipun sempat meningkat pada 2019, namun kembali, namun kembali turun pada 2020 saat Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19.

Secara umum Karhutla dan emisi di Indonesia kurun waktu lima tahun tersebut mengalami penurunan, turun 0,85 persen setiap tahunnya dan turun 32,30 persen total selama 2016-2020.

Namun yang mengkhawatirkan, laju Karhutla dan emisi sangat berhubungan erat mengalami peningkatan. Bila kebakaran terus terjadi tanpa ada upaya penanggulangan, emisi gas rumah kaca yang berdampak perubahan iklim semakin masif terjadi yang berakibat fatal terhadap kehidupan manusia.

Ketua Umum Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Prof.Dr. HA. Sudibyakto, M.S., mengatakan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menjadi ancaman besar bagi Indonesia. Selain merusak ekosistem lahan tropika basah, kebakaran hutan dan lahan akan mempercepat proses perubahan iklim.

Sudibyakto menyampaikan pemulihan kerusakan ekosistem lahan dan hutan yang terbakar memerlukan waktu lebih dari 30 hingga 50 tahun. Oleh sebab itu, dibutuhkan manajemen risiko bencana kebakaran hutan dan lahan secara terpadu dan komprehensif antara kementerian atau lembaga pemerintah dan negara tetangga dalam kerangka kerja “ASEAN Agreement on Disaster Risk Management”.

“Kegagalan mengelola hutan dan lahan gambut akan mempengaruhi perubahan iklim yang menimbulkan dampak luas dimasa mendatang,”jelasnya dikutip dari laman ugm.ac.id.

Sudibyakto sejak 2015 lalu telah meminta kepada pemerintah untuk menyusun SOP pengendalian kebakaran dan hutan. Hal itu dapat dilaksanakan dengan memperkuat peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengamat kebencanaan UGM ini menyebutkan kesiapsiagaan pemerintah daerah dan lembaga terkait dalam penilaian dan manajemen risiko menjadi prioritas pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut sesuai dengan kerangka kerja

Menurut Sudibyakto masyarakat sekitar hutan perlu dilibatkan secara langsung dan lebih proaktif dalam berbagai kegiatan mitigasi kebakaran hutan dan lahan. Langkah tersebut dilakukan dengan adanya fasilitasi dalam bentuk desa tangguh bencana secara berkesinambungan menuju pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat.

Faktor Manusia

Hutan dapat menyerap banyak CO2, menebang pohon, Karhutla dapat berdampak besar pada perubahan iklim. Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara di dunia yang paling banyak kehilangan hutan selama dua dekade terakhir.

Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara 2002 dan 2020.

Dikutip dari databoks.katadata.co.id, laju deforestasi hutan primer Indonesia terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Global Forest Watch, lahan hutan primer Indonesia tercatat hanya berkurang 270 ribu hektare (ha) pada 2020, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 323,6 ribu ha. 

Meski demikian, laju deforestasi Indonesia masih masuk daftar 10 terbesar di dunia pada tahun lalu. Indonesia menempati posisi keempat, diapit oleh Bolivia dan Peru.

Brasil masih menjadi negara dengan laju pengurangan hutan primer terbesar di dunia pada 2020, yakni 1,7 juta ha. Setelahnya ada Republik Demokratik Kongo yang kehilangan hutan primer seluas 491 ribu ha. 

Bolivia tercatat kehilangan hutan primer seluas 277 ribu ha. Peru yang berada di bawah Indonesia kehilangan 166 ribu ha. 

Kolombia berada di posisi keenam lantaran kehilangan hutan primer seluas 166 ribu ha. Kemudian, Kamerun tercatat kehilangan hutan primer sebanyak 100 ribu ha. 

Laos dan Malaysia masing-masing kehilangan hutan primer seluas 89,7 ribu ha dan 73 ribu ha. Sementara, Meksiko tercatat kehilangan hutan primer seluas 68,4 ribu ha. 

Adapun, pengurangan hutan primer di dunia seluas 4,21 juta ha sepanjang 2020. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya 3,75 juta ha. 

Kehilangan lahan hutan primer terbesar terjadi pada 2016, yakni 6,13 juta ha. Kondisi itu terjadi karena kebakaran hutan yang cukup besar di beberapa negara seiring terjadinya kemarau panjang dan meningkatnya suhu udara.

Berdasarkan data-data tersebut semakin memperkuat argumentasi ilmuwan iklim dunia yang menyimpulkan bahwa, perubahan iklim dan pemanasan global itu akibat dari ulah manusia. Karhutla, gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan semakin memantik meningkatnya suhu dunia.

Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menuliskan berdasarkan bukti kuat, sekitar 97 persen  ilmuwan iklim telah menyimpulkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan manusia sedang terjadi.

Pendapat lainnya juga disebutkan dalam situs resmi NASA datang dari American Meteorological Society, penelitian telah menemukan pengaruh manusia terhadap iklim selama beberapa dekade terakhir. Ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar pengaruh manusia telah menjadi penyebab dominan dari mengamati pemanasan sejak pertengahan abad kedua puluh.

Bahkan U.S. Global Change Research Program menyebutkan iklim bumi sekarang berubah lebih cepat daripada titik manapun dalam sejarah peradaban modern, terutama sebagai akibat dari aktivitas manusia.[]

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.