Peta angkasa menunjukkan, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) merambah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), salah satu kawasan konservasi terbesar dan terpenting di dunia, yang terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara yang mencakup 2,6 juta hektar. Aktivitas ini berpotensi merusak ekosistem penting yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati global dan menjadi benteng ekologi.
Kursor laptop bergerak pelan mendigitasi bukaan tutupan yang gundul – yang diduga lokasi PETI. Dengan memanfaatkan aplikasi Citra Satelit Planet Scope dan Google Earth, kemudian dianalisis dengan Software ArcGIS, luas deforestasi akibat tambang emas ilegal pun teridentifikasi di tujuh kabupaten di Aceh.
Hasil analisis spasial yang dilakukan Tim Geographic Information System (GIS) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, kerusakan lingkungan hidup akibat PETI tak hanya merambah kawasan hutan, Daerah Aliran Sungai (DAS), tetapi juga merambah ke pemukiman, perkebunan hingga persawahan yang produktif.
Hasil investigasi WALHI Aceh pada 2017 lalu, dikutip dari laporan “Aktivitas Pertambangan Emas Ilegal Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya” disebutkan, PETI berada di lahan pertanian, perkebunan yang produktif hingga merambah hingga pemukiman warga, bahkan lubang tambang persis di pekarangan rumah penduduk. Selebihnya berada dalam kawasan hutan hingga di aliran sungai yang semua menggunakan alat berat (beko) saat melakukan pengerukan lubang tambang.
Baca Juga:
Ada empat gampong ditemukan PETI di pemukiman warga pada 2017 lalu, yaitu di Gampong Blang Baroe PR, Panton Bayam, Blang Leumak dan Krueng Cut dengan total luas mencapai 261,73 hektar. Ditemukan juga dalam wilayah sungai seluas 1.108,93 hektar.
Kondisi ini berdampak menurunnya produktivitas lahan pertanian dan perkebunan di daerah tersebut. Lubang-lubang besar menganga menyeruak menggeser tanaman-tanaman padi warga. Alhasil aktivitas pertanian pun banyak terhenti dan petani terpaksa mengalihkan kegiatannya dengan menggali dan mengindang emas, pekerjaan yang tidak berkelanjutan, justru rakus ruang yang memperburuk kondisi lingkungan hidup di daerah tersebut.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa kondisi ini memiliki dampak jangka panjang. Selain adanya indikasi penggunaan bahan kimia berbahaya, seperti merkuri untuk proses pemurnian emas dari campuran batuan dan lumpur. Kegiatan ini juga mengubah lahan pertanian, perkebunan dan fasilitas publik di beberapa gampong menjadi areal pertambangan.
Berbeda dengan temuan lainnya pada 2017 lalu oleh WALHI Aceh, masih berdasarkan laporan itu, pola PETI di Gunung Mersak Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan lokasi PETI berada di sungai.
Ditemukan aktivitas mesin penyedot pasir dari sungai yang terkandung emas yang tersebar di enam lokasi. Pola lainnya dengan melakukan penggalian lubang dari puncak gunung Mersak secara vertikal yang kemudian berbentuk horizontal di bawah tanah.
Saat itu ditemukan sekitar 100 unit lubang di Gunung Mersak yang digali secara vertikal. Kedalamannya berkisar antara 7 – 15 meter, sedang panjang lubang secara horizontal 10 meter lebih. Untuk mendapat oksigen para penambang di dalam lubang, mereka menggunakan mesin blower untuk alat bantu pernafasan.
Mirisnya, bekas-bekas lubang tambang yang tidak dipakai lagi, dibiarkan begitu saja di lokasi. Tentu ini cukup beresiko tinggi terhadap keselamatan warga dan juga terancam terjadinya longsor di lokasi tersebut.
Yang mengkhawatirkan, temuan 8 tahun lalu proses pemurnian emas di Manggamat menggunakan merkuri, zat yang sangat berbahaya dan memiliki efek jangka panjang bila terpapar kepada manusia. Kondisi ini cukup rentang terhadap kesehatan di sembilan gampong yang berada di Manggamat atau Kluet Tengah.
Sementara pola PETI yang terdapat di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie seluruh menggunakan alat berat dan berada di sungai. Alat berat mengeruk pasir dan bebatuan yang berada di sungai dan tebing sungai. Kondisi tersebut masih berlangsung hingga sekarang.
Semua pohon-pohon besar yang berada di tebing dan bantaran sungai semua ditumbangkan. Mirisnya, pohon-pohon itu ditelantarkan dan diseret ke tengah sungai. Kondisi ini tentunya akan mengundang terjadinya bencana banjir bandang.
Kerusakan tutupan hutan tidak hanya galian untuk mendapatkan emas di sepanjang sungai. Tetapi juga ditemukan pembukaan akses jalan, baik dipelgunakan untuk memasukkan alat berat, juga lalu lintas para penambang. Luas jalan akses yang dibuka untuk dilintasi dengan lebar 5-10 meter sepanjang 800 – 1000 meter di Gampong Alue Saya.
Masih menurut laporan investigasi tersebut pada 2017 lalu, PETI telah merusak kawasan hutan lindung di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie. Berdampak serius terhadap keutuhan fungsi alami hutan dan merusak aliran sungai, tebing serta hilangnya bantaran sungai.
Tumpukan pasir/kerikil, batu dan pohon sepanjang aliran sungai telah menghambat laju air. Kondisi ini selain mengundang bencana banjir bandang, juga terancam longsor di lokasi tambang ilegal tersebut.
Potret PETI 8 tahun lalu diperkirakan tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Bahkan berdasarkan pantauan peta angkasa yang dilakukan WALHI Aceh, kondisinya semakin parah dan luasannya semakin bertambah dalam dua tahun ini.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin menyebutkan, semua PETI di kawasan tersebut masih berjalan aktif. Kalaupun ada yang ditinggalkan, tidak ada perbaikan atau direklamasi. Sehingga sangat berbahaya bagi warga dan lingkungan sekitarnya.
“Di Kabupaten Nagan Raya, misalnya, di perkampungan ada banyak galian besar yang berbahaya bagi warga. Ada pertambangan merambah ke lahan pertanian, sawah dan kebun sawit. Luasan terus bertambah saat ini,” kata Ahmad Shalihin kepada digdata,id, Kamis (9/1/2025).
PETI Rusak DAS dan KEL
PETI tidak hanya melanggar hukum, tetapi menjadi salah satu ancaman serius terhadap lingkungan di berbagai daerah di Aceh. Bakal merusak ekosistem, khususnya Daerah Aliran Sungai (DAS), yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia, flora, dan fauna.
PETI sering dilakukan tanpa memperhatikan aspek lingkungan. Proses penambangan yang menggunakan merkuri atau sianida untuk memisahkan emas dari material lain dapat mencemari air sungai. Bahan kimia berbahaya ini masuk ke dalam air dan meracuni organisme yang hidup di dalamnya, serta mengancam kesehatan masyarakat yang bergantung pada sungai untuk kebutuhan sehari-hari.
Selain pencemaran kimia, PETI juga menyebabkan kerusakan fisik pada DAS. Penebangan hutan di sekitar aliran sungai untuk membuka lahan tambang mengakibatkan erosi tanah. Tanah yang tergerus akan terbawa aliran air, menyebabkan sedimentasi yang dapat memperpendek umur sungai dan merusak habitat ikan serta organisme lain.
Berdasarkan hasil pemetaan angkasa yang dilakukan WALHI Aceh menemukan fakta, dari total luas PETI 8.107,65 hektar di Aceh – seluruhnya berada dalam DAS dan sempadan sungai. Kondisi ini tentunya jadi ancaman serius bagi kelestarian DAS dan kehidupan di sekitarnya.
Ahmad Shalihin mengungkapkan, pengerukan dilakukan dengan menggunakan alat berat bisa menyebabkan sungai dangkal dan menyebabkan banjir saat musim hujan. “Akhirnya sungai jadi dangkal dan menyebabkan kebanjiran jika hujan. Karena air sungai meluap. Ini akan menjadi ancaman dan jangka panjang, baik dari sisi sosial masyarakat,, lingkungan dan kesehatan warga,” ujar Ahmad Solihin.
Hasil pemantauan angkasa yang dilakukan WALHI Aceh, total luas PETI 8.107,65 hektar data hingga Oktober 2024, meningkat 1,608.66 hektar atau naik sebesar 25 persen. Lokasinya tersebar di tujuh kabupaten, yaitu Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Nagan Raya, Pidie, Aceh Besar dan Aceh Tengah.
“Semua berada di DAS dan sempadan sungai,” katanya.
Dari total kerusakan DAS seluas 24.617 hektar yang berada di kabupaten yang ada PETI, sekitar 16.509 hektar atau 33 persen di antaranya diakibatkan oleh aktivitas PETI. DAS Krueng Woyla, yang melintasi Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Tengah, dan Pidie, tercatat tingkat kerusakan tertinggi, yaitu seluas 2.593 hektar.
Artinya lebih separuh atau 63 persen dari total kerusakan DAS Krueng Woyla disebabkan oleh praktik penambangan emas ilegal, yang memberikan dampak serius terhadap ekosistem dan keberlanjutan lingkungan di kawasan tersebut.
PETI telah merambah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di tiga kabupaten, yaitu Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Nagan Raya pada 2024 ini dengan luas 1.882,33 hektar, meningkat 225,16 hektar atau 14 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat 1.657,17 hektar. Nagan Raya menjadi kabupaten dengan area PETI terluas di KEL.
Pada 2023 lalu, Nagan Raya juga menjadi daerah paling luas merambah KEL akibat PETI, yaitu seluas 1.357,99 hektar, lalu disusul Aceh Barat 267,25 hektar. Hasil pemetaan angkasa yang dilakukan WALHI Aceh, Aceh Selatan yang tidak mengalami perluasan dalam dua tahun ini.
PETI Semakin Meluas
Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI masih menjadi permasalahan serius di Aceh. Aktivitas tanpa izin ini ditemukan di berbagai kabupaten, seperti Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Barat, dan Aceh Tengah.
Keberadaan tambang liar ini mengkhawatirkan masyarakat karena menyebabkan kerusakan hutan, lingkungan, kebun, serta lahan pertanian, selain mencemari aliran sungai. Di Nagan Raya, sejumlah alat berat beroperasi di beberapa lokasi tambang, memperparah dampak yang ditimbulkan.
“Masyarakat tidak berani melarang karena kegiatan ini melibatkan banyak pihak yang memiliki kekuasaan,” kata Ramadhan, warga yang tinggal di sekitar tambang emas ilegal di Nagan Raya, Senin [16/12/2024] dikutip dari mongabay.co.id.
Aktivitas PETI ini tidak hanya merusak lingkungan, seperti hutan dan sungai, tetapi juga berdampak negatif pada kehidupan masyarakat setempat, termasuk pencemaran sumber air bersih dan lahan pertanian. Oleh karena itu, diperlukan upaya penegakan hukum yang lebih tegas dan solusi berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan ini.
“Kami mendesak Kepolisian Daerah Aceh menindak kegiatan ilegal tersebut,” ujar Irfandi, Koordinator Gerakan Aspirasi Masyarakat Aceh, Minggu [22/12/2024] dikutip dari mongabay.co.id.
Jika kegiatan tersebut dibiarkan, akan muncul bencana di kemudian hari. “Selama ini, masyarakat menggantungkan hidupnya dari air bersih untuk mengairi lahan pertanian dan kebun,” jelasnya.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin yang akrab disapa Om Sol menyebutkan, PETI mengalami perluasan yang signifikan hingga Oktober 2024, yaitu meningkat 25 persen dibandingkan 2023 lalu. “Ini data 2024 belum terhitung November dan Desember, kalau masuk, diperkirakan luasannya diperkirakan bisa lebih luas,” katanya.
Om Sol merincikan luasan PETI yang tersebar di tujuh kabupaten mencapai 8.107,65 hektar, meningkat 1,608.66 hektar dibandingkan 2023 lalu yang hanya 6.498,99 hektar. Lokasinya tersebar kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Nagan Raya, Pidie, Aceh Besar dan Aceh Tengah.
Data ini menunjukkan PETI mengalami peningkatkan 25 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dari total kerusakan hutan akibat PETI, 52 persennya berada di Kabupaten Aceh Barat dan peringkat kedua di Nagan Raya 30,9 persen.
Dari segi status penguasaan lahan, 69.46 persen keberadaan PETI terjadi pada lahan yang dikuasai negara atau kawasan hutan, hanya 30.19 persen berada di APL. Dengan rincian PETI telah merusak 3.700,68 hektar hutan lindung atau setara dengan 45,64 persen, Hutan Produksi 16,18 persen dan Badan Air 7,64 persen. Selebihnya berada di APL 30,19 persen dan 0.35 persen di area lainnya.
Menurut Om Sol, laju kerusakan hutan akibat PETI dampak dari lemahnya penegakan hukum dan sengkarut ruang yang masih terjadi di Aceh hingga sekarang. “Lemahnya penegakan hukum dan dan tidak ada perhatian yang serius untuk pengelolaannya, sehingga PETI hingga sekarang belum mampu dihentikan,” jelasnya.
WALHI Aceh mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk mencari solusi, terkait keberadaan PETI di Aceh. “WALHI tak menolak pemanfaatan potensi pertambangan untuk rakyat, tapi harus ada aturan hukum yang jelas, sosialisasi yang paripurna kepada masyarakat akan pemahaman wilayah pertambangan rakyat, PETI beroperasi sesuai dengan prosedur, sehingga tidak berdampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar,” tegasnya.
Jika kegiatan masih berupa pertambangan tanpa izin, kata dia, aktivitasnya tidak bisa terkontrol. Terutama penggunaan bahan kimia saat mengolah emas. “Namun walaupun dikelola dengan skema WPR, harus dipastikan penerima manfaatnya, seperti masyarakat setempat,” katanya. [acl]