Kondisi SM Rawa Singkil Terkini

Hamparan hutan yang luas menghijau dengan beragam jenis tumbuhan dan nyanyian merdu suara burung juga satwa lainnya di kawasan hutan Rawa Singkil kini sudah tak senyaring dan sesering puluhan tahun lalu. Pasalnya hutan-hutan di kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil tersebut berubah menjadi perkebunan sawit.

Rusaknya bentang alam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil kian mengkhawatirkan. Aktivitas pembalakan liar dan perambahan untuk alih fungsi lahan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan konservasi tersebut masih terjadi hingga kini. Namun, belum ada tindakan tegas dari pemerintah untuk menghentikannya.

SM Rawa Singkil merupakan hutan rawa gambut yang tersisa di Provinsi Aceh. Suaka ini merupakan habitat berbagai macam satwa dilindungi, seperti orangutan sumatera (Pongo abelii), beruk (Macaca pagensis), berbagai macam jenis burung rangkong, hingga buaya muara (Crocodylus porosus).

Hutan ini merupakan bagian dari hutan hujan dataran rendah Kawasan Ekosistem Leuser yang terkenal di dunia. Ada tiga kabupaten/kota yang masuk dalam kawasan SM Rawa Singkil nyakni Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Subulussalam.

Wilayah ini ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa (SM) berdasarkan Surat Keterangan Parsial, tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan SM Rawa Singkil Nomor 166/Kpts-II/1997. Oleh Kementrian Kehutanan, dengan luasnya 102.500 hektar (Ha)atau hampir setara dengan luasnya pulau Weh Sabang 122,1 km².

Kemudian terjadi perambahan dengan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit sehingga keluarlah SK No 170 Tahun 2000 menetapkan luas SM Rawa Singkil berdasarkan data digital adalah 83.798.90 hektar  sehingga luas kawasan SM. Rawa Singkil berkurang seluas 18.701,1 hektar.

Lalu pada tahun 2013 kembali terjadi perubahan SK 170 terkait luasnya kawasan SM. Rawa Singkil, dengan dikeluarkannya SK 941 tahun 2013 sehingga luas SM kembali berkurang menjadi 82,217, 24 Ha. Dan, pada SK 580 tahun 2018 menjadi 82.217,24 hektar, dengan tubuh air 33,52 Ha. 

Pada tahun 2015 Kementerian Kehutanan kembali mencatat luasan SM hanya tinggal 81.338 yang ditetapkan dalam surat keputusan Nomor 103/MenLHK-II/2015 artinya selama 18 tahun terhitung sejak tahun 1997 hingga 2015 kawasan tersebut telah dirambah hingga menjadi penyusutan seluas 21.162 Hektar. 

Penyusutan SM. Rawa Singkil juga terjadi pada tahun 2016 dan 2017. Berdasarkan data Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA), luas tutupan hutan SM Rawa Singkil pada 2016 sekitar 77.227 hektar. Sementara 2017, menunjukkan angka 76.707 hektar atau hilang sebanyak 5.095 hektar.

Maraknya aktivitas ilegal di kawasan SM Rawa Singkil itu diungkap oleh Lukmanul Hakim, Manager Geographic Information System (GIS) Yayasan HakA. Lukmanul menuturkan, aktivitas ilegal itu sejatinya sudah berlangsung sejak lama dan kian masif belakangan ini

“Kami rutin memantau kondisi tutupan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) termasuk SM Rawa Singkil,” ungkap Lukman, yang terus melakukan pemantauan bersama Yayasan HAkA setiap bulan dengan metode remote sensing.

Alasan perubahan itu adalah, karena sebagian areanya telah menjadi perkebunan, karena adanya permintaan berbagai pihak.  Sungguh pun luas hutan konservasi ini telah dikurangi sekitar 20 ribu hektar. Namun, konversi ilegal dari hutan menjadi kebun tidak semerta –merta berhenti, terutama untuk dijadikan kebun sawit. dan belum ada solusi untuk menyikapi persoalan ini.

Perambahan Hutan SM Rawa Singkil ( Foto Mongabai/Junaidi hanafiah)
Perambahan Hutan SM Rawa Singkil ( Foto Mongabai/Junaidi hanafiah)

Lukmanul Hakim juga mengatakan, dari Januari hingga Juli 2022, hilangnya tutupan hutan di Suaka Margasatwa Rawa Singkil mencapai 338 hektar. Padahal, pada 2021 hanya tercatat 165 hektar, 2020 [43 hektar], dan 2019 [28 hektar].  

Jadi berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Nomor: SK 6616/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021 tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Aceh, luas Suaka Margasatwa Rawa Singkil mencapai 82.188 hektar. Dan ini merupakan SK Kawasan Hutan terbaru di Aceh.

Dengan rincian, Kabupaten Aceh Selatan [58.112 hektar] tersebar di Kecamatan Trumon, Trumon Tengah dan Kecamatan Trumon Timur. Di Kabupaten Aceh Singkil [20.867 hektar], tersebar di Kecamatan Kuala Baru, Singkil, dan Kota Baharu. Sementara di Kota Subulussalam [3.206 hektar] berada di Kecamatan Rundeng dan Longkib.

Tabel SK Kementrin tentang luas Lahan SM Rawa Singkil 

Sedangkan Tutupan Hutan di SM Rawa Singkil mengalami pengurangan setiap tahunnya. Dari data pantauan HAKA, sejak tahun 2019 hingga Maret 2023 kehilangan tutupan hutan terus meningkat di SM Rawa Singkil. Dan yang paling banyak hilang berada di Kabupaten Aceh Selatan.

Dengan rincian kehilangan tutupan hutan seluas 28 hektar pada 2019, tahun 2020 meningkat menjadi 43 hektar, 2021 menjadi 165 hektar dan jumlah hilangnya tutupan hutan kembali meningkat pada tahun 2022 dan itu sangat tinggi seluas 716 hektar.

namun pada April 2023 saja, SM Rawa Singkil kehilangan tutupan hutan seluas 54 hektare. Sehingga tahun 2023 selama 4 bulan terakhir (Januari-April) hilangnya tutupan hutan seluas SM Rawa Singkil mengalami kehilangan tutupan hutan seluas 258 hektare atau meningkat 66% dibanding periode yang sama pada tahun lalu jumlah tersebut diperkirakan akan terus meluas jika pengambil kebijakan tidak menertipkan perambahan hutan di kawasan SM.Rawa Rawa Singkil papar Lukman.

Untuk diketahui, sepanjang 2002, ada sekitar 716 hektar hutan yang hilang di Rawa Singkil. Dan jumlah kerusakan itu terus meningkat setiap tahunnya, sejak 2019

Lambannya respon pemerintah membuat kecewa para penggiat lingkungan. Mereka menilai pemerintah tak serius menyelamatkan SM Rawa Singkil dari tangan-tangan jahat yang merusaknya selama ini. Padahal, SM Rawa Singkil merupakan bagian dari kawasan konservasi yang semestinya dijaga dan dilindungi.

Sampai hari ini belum ada upaya serius penyelamatan yang dilakukan Menteri LHK,” ujar Wahyu Pratama, Koordinator Hukum Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH).

P2LH sendiri telah berkali-kali menyampaikan pengaduan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait aktivitas ilegal di kawasan tersebut. P2LH juga telah menggalang dukungan melalui penandatanganan petisi untuk mendorong Menteri LHK segera melakukan penyelamatan SM Rawa Singkil

Grafik Kehilangan tutupan Hutan SM. Rawa Singkil (2019-2023/HAKA)

Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan, hilangnya tutupan hutan di lanskap penting ini  berdampak negatif terhadap populasi orangutan. Sementara pada masyarakat, akan menderita akibat banjir.

“Ruang hidup dan populasi satwa terancam. Bagi masyarakat yang selama ini memanfaatkan jasa alam dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil, seperti nelayan, akan kehilangan mata pencaharian,” ujarnya.

Hutan ini juga memiliki andil yang sangat besar untuk kehidupan ribuan masyarakat, sebagai nelayan dan petani madu.

Selain bisa mengatur atau menyerap air, ekosistem gambut juga berfungsi sebagai pencegah banjir dan kekeringan, serta menjaga produktivitas perikanan di wilayah sungai dan pesisir pantai. Rawa Singkil bisa disebut daerah buangan air, karena terletak di DAS Alas-Singkil.

Potensi gambut yang ada berfungsi sebagai penyerap air saat banjir dan mengeluarkannya perlahan saat kemarau tiba.

Dari data HAKA, tingkat deporestasi tertinggi terjadi di kawasan SM Rawa Singkil tahun 2022, tercatat ada 12 kali lebih tinggi dari tahun 2021 sehingga menjadikannya sebagai kehilangan hutan tertinggi yang terjadi sejak 2021.

Dalam konteks konservasi, kata Missi, kondisi SM Rawa Singkil sudah sangat mengkhawatirkan. Dan masalah ini terus berlarut-larut, tak kunjung diselesaikan. Padahal, sudah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan

Semestinya pihak kepolisian ataupun aparat penegak hukum bidang kehutanan sebagai perwakilan negara seharusnya melakukan penindakan hukum secara menyeluruh. Sebagai langkah untuk menghilangkan ancaman dan menghentikan laju kerusakan terhadap salah satu kawasan konservasi yang dilindungi negara.

Nihilnya tindakan tegas dari pemerintah pun memunculkan kecurigaan. Direktur Eksekutif WALHI Aceh Ahmad Shalihin menduga ada bekingan kuat di belakang aktivitas ilegal di kawasan SM Rawa Singkil.

“Kami menduga perambahan ini didukung oleh orang kuat, bukan dilakukan oleh masyarakat biasa. Hal ini diperkuat dengan didapatinya alat berat yang digunakan untuk membuka lahan,” ujar Shalihin.

Perkebunan Sawait di Dalam Kawasan SM.Rawa Singkil (Ist)

Hilangnya hutan ini didorong oleh pembukaan perkebunan sawit oleh elit lokal bukan petani kecil. Banyak pejabat publik dan perusahaan besar dibalik rusaknya SM. Rawa Singkil seperti yang diberitakan MODUS ACEH  pada 1 April 2023 dengan judul “Daerah Tujuan Perusahaan Sawit Itu Bernama Rawa Singkil”dimana ada sebuah perusahaan sawit terbesar di Indonesia yang memiliki puluhan ribu hektar lahan sawit di SM Rawa Singkil.

BAS adalah salah satu perusahaan yang bergerak di bidang usaha perkebunan kelapa sawit dan pengolahan CPO crude palm oil.  Selain di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. PT. BAS juga memiliki perkebunan dan pabrik pengolahan CPO di Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan dokumen perusahaan yang diperoleh dari Ditjen AHU, Kementerian Hukum, perusahaan ini sebelumnya bernama First Mujur Plantation & Industry (FMPI).  

Perusahaan ini digerakkan Budi Amal sebagai Direktur Utama BAS. Lalu, ada  nama Josua Vena Tanoza (direktur) disusul Komisaris Utama BAS Sintong Panjaitan dan Hasjim Oemar (komisaris).  Sedangkan pemegang saham terbesarnya adalah PT. Pasifik Agro Sentosa.

Mulanya, PT BAS/FMPI memiliki lahan sawit di Desa Martujuan dekat dengan afdeling VI Kebun Aek Kulim, seluas 10 ribu hektar. Kemudian lahan tersebut ditukarguling di Provinsi Aceh seluas 11 ribu hektar. Proses ini terjadi pada masa Bupati Aceh Selatan T. Husein Yusuf dan Gubernur Aceh dijabati Irwandi Yusuf.  

Soal adanya tukar guling lahan di Aceh ini seperti yang disebutkan dalam surat PT. Barumun Agro Sentosa, 24 Februari 2015, kepada Sekretariat RSPO, yang pada saat itu ditandatangani Assistant Director  PT. Barumun Agro Sentosa, Husin. 

Dalam surat tersebut dijelaskan, PT. BAS harus membayar dana kompensasi yang ditagih Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kehutanan Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp7.5 miliar.

Namun belum terealisasi, karena PT. BAS belum memiliki mekanisme atau tata cara pembayaran dana kompensasi area pengganti yang sudah ditetapkan. PT BAS diminta menunggu selama empat tahun atau pada 2006 hingga 2009. 

Lalu pada tahun 2010, Menteri Kehutanan RI mengeluarkan Undang-Undang Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010, tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Regulasi itulah yang menjadi titik awal PT. BAS melaksanakan proses pelepasan kawasan hutan dengan area pengganti tersebut. 

Barulah, PT. BAS menjadikan lahan di Aceh sebagai proyek tukar guling lahan dengan menyurati Gubernur Aceh. Selanjutnya, PT. BAS mendapat persetujuan surat rekomendasi Gubernur Aceh Nomor 522/16076, 26 April 2010. Selain itu, PT BAS juga mendapatkan surat rekomendasi dari bupati setempat, dan surat rekomendasi dari pihak ketiga lainnya.

Setelah itu, terjadi penandatanganan berita acara tukar menukar kawasan hutan, yang ditandatangani Dirjen Planologi Kehutanan atas nama Menteri Kehutanan dengan Direksi PT FMPI/PT BAS pada 2 Mei 2012.

Tak hanya itu, PT. BAS juga mengantongi Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Republik Indonesia, tentang Penunjukan Kawasan Hutan yang berasal dari lahan pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan, sebagaimana surat Nomor SK. 345/Menhut-II/2012, tanggal 18 Juli 2012.

 ***

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.