Krisis kesehatan mental di kalangan remaja di Indonesia bukanlah informasi yang baru. Tetapi ini menjadi persoalan dan memprihatinkan, karena akan berpengaruh pada produktivitas nasional. Terlebih dapat menghambat transisi Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045.
Tentunya layanan kesehatan mental cukup krusial untuk kalangan remaja, membutuhkan perhatian yang tidak kalah dengan kesehatan fisik. Bila kesehatan mental terganggu, tentunya akan berpengaruh dalam segala aspek kehidupan.
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada tahun 2022 pernah merilis data yang cukup mencengangkan. Ternyata remaja usia 10 – 17 tahun di Indonesia menunjukkan mengalami masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
Sebagaimana diketahui, hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia adalah remaja, rentang usia 10-19 tahun. Sehingga populasi remaja dipandang memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa Indonesia, terutama untuk mencapai bonus demografi dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Namun sayangnya, hasil publikasi penelitian I-NAMHS pada tahun 2022 lalu, sekitar 15,5 juta remaja di Indonesia – 2,45 juta mengalami masalah kesehatan mental. Artinya ini setara 1 dari 3 remaja Indonesia ada persoalan dengan mental mereka.
Gangguan mental yang diteliti oleh I-NAMHS tergiagnosis sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” terang Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang merupakan peneliti utama I-NAMHS, dikutip dari laman website UGM, Jumat (7/6/2024).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor 1,0%, gangguan perilaku 0,9%, serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
Meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke pelbagai fasilitas kesehatan, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Hanya 2,6% remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir.
“Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka,” papar Siswanto.
I-NAMHS juga mengumpulkan data mengenai pengaruh kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pembatasan kontak sosial selama pandemi COVID-19 terhadap kesehatan mental remaja. Sebanyak 1 dari 20 remaja melaporkan merasa lebih depresi, lebih cemas, lebih merasa kesepian, dan lebih sulit untuk berkonsentrasi dibandingkan dengan sebelum pandemi COVID-19.
Temuan lain dari I-NAMHS adalah bahwa kebanyakan 38.2% pengasuh remaja memilih untuk mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja mereka. Di sisi lain, dari semua pengasuh utama yang menyatakan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan, lebih dari dua perlima atau 43.8% melaporkan bahwa mereka tidak mencari bantuan karena lebih memilih untuk menangani sendiri masalah tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.[acl]