Home Berita Pakar UGM: Ganja Jadi Alternatif Bukan Pilihan Utama untuk Medis
BeritaHeadline

Pakar UGM: Ganja Jadi Alternatif Bukan Pilihan Utama untuk Medis

Share
Chidchanok Chidchob merawat tanaman mariyuana di Buriram/ bbc.com
Share

Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gadjah mada (UGM), Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D mengingatkan agar tidak gegah menyikapi legalisasi ganja untuk kebutuhan medis maupun lainnya. Mengingat tanaman ini bersifat adiktif, memiliki zat-zat yang bisa menimbulkan ketergantungan bagi yang menggunakannya secara terus menerus.

Dia menuturkan ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit, termasuk cerebral palsy.  Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.

“Ganja bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni speerti CBD, terukur dosisinya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten itu tidak masalah,”kata Prof . Zullies dikutip dari laman resmi UGM, Senin (04/07/2022).

Ganja medis ramai diperbincangan dalam beberapa waktu terakhir setelah viralnya seorang ibu dengan anak penderita cerebral palsy mendesak pemerintah segera melegalkan ganja untuk terapi medis. Seperti di Thailand yang telah membebaskan penggunaan mariyuana.

Sejak Kamis, 9 Juni 2022, rakyat Thailand telah diizinkan menanam ganja dan ganja industri alias hemp di rumah untuk keperluan medis dan kuliner. Pada hari itu, pemerintah Thailand telah mengeluarkan ganja dari daftar narkotika Kategori 5.

Kebijakan ini menjadikan Thailand sebagai negara pertama yang secara progresif melonggarkan aturan ganja di Asia Tenggara, wilayah yang dikenal dengan undang-undang narkoba yang ketat.

Baca Juga:

Kendati demikian, Prof  Zullies, menjelaskan ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.

“Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya kearah mental,” jelasnya.

Lalu senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.

Ia menuturkan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika. Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.

“Di kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja,” ucapnya.

Zullies menjelaskan CBD  memang telah teruji klinis dapat mengatasi kejang.  Kendati begitu untuk terapi antikejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja. Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.

“Dikatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, misal dengan diseduh itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis,”paparnya.

Lalu terkait legaliasai ganja medis, Zullies mengungkapkan obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.

“Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi,” urainya.

Lebih lanjut ia mengatakan untuk penggunaan ganja medis ini dapat melihat dari obat-obatan golongan morfin.  Morfil juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, digunakan sesuai indikasi seperti nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat.

“Tanamannya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, begitupun dengan ganja. Oleh sebab itu, semestinya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperehensif akan risiko dan manfaatnya,” tutupnya.[acl]

Share
Related Articles
BeritaHeadline

Aceh Masuk 10 Besar Provinsi dengan Deforestasi Tertinggi di 2024

Deforestasi di Indonesia meningkat 2 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Aceh...

BeritaHeadlineJurnalisme Data

Keruk Emas di Benteng Ekologi (3)

Peta angkasa menunjukkan, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) merambah Kawasan Ekosistem Leuser...

Sebanyak 77 imigran etnis Rohingya menggunakan sebuah kapal motor kayu kembali diketahui terdampar di Pantai Leuge, Kecamatan Pereulak, Kabupaten Aceh Timur, Rabu (29/01/2025)
BeritaHeadlineNews

Imigran Etnis Rohingya Kembali Terdampar di Aceh Timur

Sebanyak 77 imigran etnis Rohingya menggunakan sebuah kapal motor kayu kembali diketahui...

Pertunjukkan Barongsai memeriahkan Tahun Baru Imlek 2025 di Banda Aceh.
BeritaHeadlineNews

Barongsai Imlek, Sedot Perhatian Warga Banda Aceh

Atraksi barongsai digelar dalam rangka memeriahkan tahun baru Imlek 2576 Kongzili di...