Uliya tak ragu merogoh koceknya, Rp75 ribu sekejap berpindah tangan, bertukar dengan satu box Papeda Ikan Masak Kuning. Bersegera mencari kursi tempat makan, tak sabar Uliya ingin mencicipi makanan yang sudah ada ditangannya.
“Wah, ikan masak kuning ini ternyata tak jauh beda dengan gulai ikan asan keu-eung kita orang Aceh, bedanya tidak ada asam sunti, tapi enak dan segar serta cocoklah dilidah, bedanya lagi gulai ini dimakan dengan sagu, rasa sagu tawar, jadi kalau gulainya agak pedas sedikit lagi pasti sama persis lah, karena kan orang aceh suka dengan citarasa pedas,” urai Uliya panjang lebar, saat disambangi Digdata, di arena Aceh Culinary Festival, di Taman Ratu Safiatuddin, Sabtu (06/08/2022).
Tapi, ujar Uliya lagi, karena disajikannya juga dengan tumis Kabupe, alias Kangkung Bunga Pepaya, maka rasa gulainya jadi lebih enak, karena rasa pedas dan asinnya ada di Tumis Kabupe.
Rasa penasaran memang mendominasi pengunjung, untuk mendatangi booth kuliner Papua, yang berada tepat didepan panggung utama Taman Ratu Safiatuddin. Banyak dari pengunjung yang bertanya tentang Papeda, tidak sedikit pula yang membeli walau dengan harga yang sedikit mahal. Ada juga yang penasaran ingin melihat langsung perawakan orang papua seperti apa.
“ Biasanya kan lihat di televisi saja, tapi ini bisa lihat langsung, jadi puas rasanya, ternyata sama dengan yang di televisi dan ramah-ramah juga,” ujar Khairuddin, warga Aceh Besar.
Evina, seorang pengunjung yang juga dilanda penasaran dengan citarasa Papeda. Pegawai swasta ini pun langsung membeli Papeda dan menikmati langsung di arena festival kuliner.
“ Seperti makan gulai asam keueung, cuma ini pakai sagu, sagunya langsung dimasukkan kedalam kuahnya, jadi seperti makan sup, asiklah, jadi puas rasa penasaran selama ini,” ujar Evina.
Itu baru citarasa ikan kuah kuning yang menjadi pelarut utama Papeda. Sedangkan Papedanya sendiri, bagi Evina, seperti makan jelly, kenyal lembut dan hanyut dimulut. “Kayaknya tidak asing, dan masih familiar dimulut, tidak menimbulkan rasa kejut, karena memakan sesuatu yang berbeda bahkan nyaris tidak pernah kita konsumsi disini,” jelas Evina.
Melihat fisiknya, Papeda memang seperti jelly berwarna bening dan kenyal. Papeda sendiri terbuat dari bahan dasar sagu yang dimasak tersendiri.
Abel, Mahasiswa asal Wamena, Papua, yang mengelola booth Papua di arena Aceh Culinary Festival, mengatakan, untuk mengisi kebutuhan booth, mereka harus mendatangkan sagu langsung dari Papua. “Soalnya susah mendapatkan sagu di Aceh, sangat jarang, pastinya karena orang disini tidak makan sagu, kalau pun ada, kualitas kurang baik, makanya kami mendatangkan sagu dari papua untuk kebutuhan acara festival,” jelas Abel.
Seperti halnya nasi, Papeda tidak bisa dinikmati secara terpisah, melainkan harus dilengkapi dengan makanan pendamping. Makanan pendamping yang paling populer dan sangat digemari adalah gulai ikan masak kuning dan tumis Kabuya alias Kangkung Bunga Pepaya.
“ Biasanya ikan yang digunakan adalah ikan tongkol,” jelas Abel.
Dari situs Indonesian Chef Association, disebutkan, dibalik kelezatannya, Papeda menyimpan riwayat sejarah. Papeda dikenal luas dalam tradisi masyarakat adat di Danau Sentani dan Manokwari. Masyarakat adat papua sangat menghormati sagu lebih dari sekedar makanan. Beberapa suku di Papua bahkan mengenal mitologi sagu dengan kisah penjelmaan.
Dari sisi nutrisi, ternyata Papeda memiliki banyak manfaat yang baik bagi tubuh. Kaya akan serat dan rendah kolesterol. Mengandung nutria esensial seperti protein, karbohidrat, kalsium fosfor dan zat besi. Jika rutin mengkonsumsi Papeda, bisa meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi risiko kanker usus, mampu mengatasi sakit pada ulu hati, perut kembung, mengurangi risiko kegemukkan, memperlancar pencernaan, hingga membersihkan paru-paru.
Bagaimana di Aceh?
Budayawan Aceh, Nab Bahany As, mengatakan masyarakat Aceh, khususnya dizaman perang kemerdekaan dan zaman konflik, juga mengkonsumsi sagu, meski bukan sebagai makanan pokok.
Sagu sering dijadikan bekal jika melakukan perjalanan berhari-hari di hutan. Sagu digongseng dan dicampur dengan kelapa parut serta gula merah. Penganan ini sering disebut lompong sagu atau nama lainnya beurene.
“Makanan ini tahan lama bisa berhari-hari, dan makanan ini juga sering dimanfaatkan warga jika pergi bertani ke sawah atau berladang ke kebun yang jauh jaraknya dari rumah, memang ini bukan menjadi makanan pokok, tapi lebih snack disela-sela kerja atau perjalanan, tapi mengenyangkan,” jelas Nab.
Tapi sayang, penganan lompong sagu kini sudah sangat jarang ditemukan, selain bahan baku yang susah ditemukan, nyaris tidak ada warga Aceh yang bisa mengolah sagu menjadi lompong sagu, selain generasi yang usianya sudah lebih dari setengah abad dan berdiam di kampung-kampung. (Yan)