Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh sudah mengingatkan sejak 2019 – pembangunan rumah sakit regional rujukan dr Fauziah, Bireuen bermasalah, mulai pembebasan lahan hingga Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
Kendati WALHI Aceh tak menampik persoalan pembebasan lahan sudah selesai sejak 2021, sehingga tidak menjadi persoalan lagi. Tetapi masih menyisakan satu masalah lain yang tak bisa diabaikan, yaitu pembangunan rumah sakit tersebut mengangkangi Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Bireuen tahun 2012 – 2032.
Deputi Direktur WALHI Aceh, Muhammad Nasir menjelaskan, Qanun RTRW Bireuen masih dalam proses revisi dan hingga sekarang belum ada penetapan. Artinya pembangunan rumah sakit tersebut harus merujuk pada tata ruang lama yang masih berlaku.
“Meskipun sudah ada legal opinion antara Kejari (Kejaksaan Negeri) dan pemerintah Kabupaten Bireuen untuk menyiasatinya pada 2020 lalu , tetapi tetap tidak boleh melebihi dari aturan di atasnya,” ungkapnya.
Pada 2018 lalu, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh akan membangun Rumah Sakit Umum (RSU) Regional dr. Fauziah Bireuen di Gampong Cot Buket, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen di areal sekitar 10 hektar. Dalam perencanaannya RSU tipe B ini menjadi rumah sakit rujukan terhadap kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan beberapa kabupaten lain.
Pembangunan RSU Regional dr. Fauziah Bireuen di Gampong Cot Buket ditetapkan melalui SK Bupati Bireuen No 414 Tahun 2018 tentang penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan RSU Regional Kabupaten Bireuen, juga berdasarkan izin prinsip Bupati Bireuen nomor 445/124 pada 6 November 2018.
Dalam Qanun Kabupaten Bireuen No 7 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Bireuen 2012 – 2032, dalam Pasal 23 disebutkan pengembangan prasarana kesehatan rumah sakit umum tipe B terletak di kawasan perkotaan Matang Glumpang dua berada di Gampong Blang Asan.
Sedangkan di Gampong Cot Buket secara tata ruang diperuntukan untuk Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), lokasi pengolahan limbah, pertanian lahan basah, kawasan pertambangan non logam (komoditas Lempung), pengembangan industri kerajinan (gerabah, keramik, batu bata, dan batako), kawasan keamanan negara, sistem jaringan seluler atau tanpa kabel.
Jadi secara RTRW Kabupaten Bireuen, alokasi ruang untuk pembangunan rumah sakit tipe B berada di Gampong Blang Asan, bukan di Cot Buket. Temuan ini kemudian disampaikan oleh WALHI Aceh dalam sidang AMDAL waktu itu.
Selain itu, WALHI Aceh juga mengkritisi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kabupaten Bireuen yang menerbitkan rekomendasi kesesuaian ruang untuk pembangunan RSU Regional dr. Fauziah Bireuen.
Dalam rekomendasinya BKPRD merujuk pada pasal 78 ayat 3 qanun RTRW Kabupaten Bireuen, juga menyebutkan terhadap kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan fungsi ruang dan pemanfaatan lain dari yang direncanakan dalam RTRW Kabupaten Bireuen.
Seharusnya, kata Muhammad Nasir, saat itu pihak instansi teknis pelaksana berkewajiban mengkoordinasikannya dengan instansi terkait atau Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Kabupaten Bireuen, dan selanjutnya mengkonsultasikan dengan DPRK.
Ini seperti ditegaskan dalam ayat 4 disebutkan perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menjadi dasar dalam peninjauan kembali RTRWK.
Kondisi saat ini, proses peninjauan kembali qanun RTRW Kabupaten Bireuen belum selesai, dan masih lama sampai pada tahapan revisi qanun yang melibatkan pihak legislatif. “Artinya, pasal 78 ayat 3 bukanlah ketentuan yang menyatakan kesesuaian ruang untuk pembangunan RSU Regional dr. Fauziah Bireuen,” sebutnya.
Kesesuaian dengan tata ruang menjadi hal yang paling substansi dalam AMDAL. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyebutkan bahwa: ayat 2) Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan wajib sesuai dengan rencana tata ruang, ayat 3) dalam hal lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dokumen AMDALl tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa.
Sejak 2019 WALHI Aceh menyebutkan ini persoalan serius yang harus disikapi. Bila dipaksakan penerbitan rekomendasi kelayakan lingkungan oleh Ketua KPA Provinsi dan kemudian menjadi dasar diterbitkan Izin Lingkungan. Maka Izin Lingkungan tersebut cacat hukum dan bagi yang menerbitkan ada sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam undang-undang penataan ruang.
Baca Juga:
Saat itu WALHI Aceh selaku anggota KPA Provinsi Aceh secara tegas menolak AMDAL rencana pembangunan RSU dr. Fauziah Bireuen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) PP 27 tahun 2012.
WALHI Aceh juga meminta kepada pemrakarsa dalam hal ini Dinas Kesehatan Aceh bersama Pemerintah Kabupaten Bireuen jangan melakukan pelanggaran ruang, karena jikapun dipaksakan akan berhadapan dengan hukum.
Solusi yang bisa dilakukan, pemerintahan Kabupaten Bireuen segera menyelesaikan proses revisi qanun Kabupaten Bireuen Nomor 7 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Bireuen Tahun 2012 – 2032.
Selain persoalan ketidaksesuaian ruang, rencana pembangunan RSU Regional dr. Fauziah Bireuen yang berlokasi di Gampong Cot Buket juga memiliki dampak serius terhadap kualitas lingkungan, karena berbatasan langsung dengan lahan bekas TPA sampah.
Dalam Permenkes No 7 Tahun 2019 tentang kesehatan lingkungan rumah sakit, disebutkan Rumah sakit sebaiknya dibangun di atas tanah yang tidak tercemar oleh kontaminan biologi, kimia dan radioaktivitas seperti bekas pertambangan, tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan bekas kegiatan pertanian yang menggunakan pestisida jenis organoklorin secara intensif karena residunya persisten/menetap di dalam tanah.
Jika rumah sakit akan dibangun di tanah yang tercemar, maka tanah tersebut harus melalui proses dekontaminasi/pemulihan kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meskipun berselemak masalah hingga menimbul bau tak sedap pada pembangunan rumah sakit regional Bireuen itu. Ternyata Pemerintah Aceh tetap bersikukuh melanjutkannya pada tahap kedua.
Padahal berdasarkan temuan Masyarakat Anti Korupsi Aceh (MaTA), proyek lanjutan disinyalir juga bermasalah sejak penentuan pemenang proyek. Sejak awalnya PT MR sebagai perusahaan yang mengerjakan tahap kedua sempat tidak lolos dalam evaluasi administrasi bersama 16 perusahaan lainnya.
Bahkan perusahaan beralamat di Peunayong ini berada di urutan ketiga yang tidak lolos berdasarkan dokumen evaluasi. “Kebijakan dan keputusan ULP Pemerintah Aceh, KPA dan Pokja XLIII untuk memenangkan PT. MR patut diduga telah terjadi kesepakatan jahat,” kata Koordinator MaTA, Alfian.
WALHI Aceh maupun MaTA mendesak proyek pembangunan rumah sakit tersebut harus dihentikan terlebih dahulu. Baru dilanjutkan setelah semua persoalan yang sedang melilit pembangunan rumah sakit tersebut selesai, agar kualitas bangunannya berkualitas untuk menjamin keselamatan.[]
Editor: Afifuddin Acal
Tim Digdata.id sudah berupaya untuk melakukan konfirmasi pada Dinas Kesehatan Aceh terkait pemerintaan pembangunan rumah sakit regional Bireuen, tetapi hingga sekarang belum ada tanggapan apapun.