Pengamat: Belum Saatnya Tarif PLN dan BBM Naik

Tak hanya kali ini, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada dasarnya sudah rutin terjadi di Indonesia dari ke masa-masa. Sejak era kepemimpinan Soeharto tahun 1991, hingga Presiden Joko Widodo justru masih saja terjadi.

Malah rezim Presiden Jokowi justru menghapus subsidi terhadap BBM premium, menggantikan dengan Pertalite. Kendati,, ia memberikan subsidi sebesar Rp 1.000 per liter untuk solar.

Pemerintah Indonesia juga telah memberikan sinyal bakal menaikkan tarif listrik, harga BBM dan gas LPG 3 kilogram. Kendati hingga sebulan lebih pernyataan itu, ketiga komponen penting itu belum ada kenaikan.

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi, M.B.A mengatakan, bila Presiden Jokowi menyetujui kenaikan ketiga komponen penting itu, dikhawatirkan bakal memperburuk daya beli masyarakat.

“Jika informasi tersebut benar maka keputusan Presiden Jokowi  tidak menaikkan harga Pertalite, Solar, Gas LPG 3Kg, dan tarif listrik, sangat tepat lantaran momentumnya tidak tepat,” kata dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Fahmy Radhy dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (19/05/2022).

Menurutnya, kendati pandemi Covid-19 sudah mereda, namun daya beli masyarakat belum benar-benar pulih. Situasi akan berbeda ketika daya beli masyarakat sudah pulih benar, pada saat itulah pemerintah bisa mempertimbangkan melakukan penyesuaian terhadap harga komoditas energi tersebut, terutama penyesuaian tarif listrik (tariff adjustment).

“Pasalnya, sejak 2017 hingga sekarang tarif listrik tidak pernah disesuaikan sama sekali, padahal variabel pembentuk tarif listrik telah mengalami kenaikkan,” ujar Fahmy.

Dalam pandangan Fahmy tidak disesuaikannya tarif listrik dalam waktu lama memang tidak serta-merta memperberat beban keuangan PLN. Tetapi makin membebani APBN untuk memberikan kompensasi kepada PLN, apabila PLN menjual setrum dengan tarif di bawah harga keekonomian. Pada tahun 2021, jumlah kompensasi tarif listrik sudah mencapai Rp 24,6 triliun rupiah.

Untuk mengurangi beban APBN tersebut, katanya, tarif listrik memang perlu disesuaikan. Hanya saja, penyesuaian struktur tarif listrik itu harus dirombak untuk mencapai keadilan.

“Penetapan tarif listrik non-subsidi hampir semuanya sama pada semua golongan, baik pelanggan rumah tangga maupun bisnis sebesar Rp1.444,70/kWh,” ungkapnya.

Ia menambahkan penetapan tarif listrik seharusnya menganut prinsip tarif progresif pada setiap golongan yang berbeda. Untuk golongan pelanggan 900 VA ditetapkan sebesar 1.444,70 rupiah/kWh, untuk golongan pelanggan di atas 900 VA-2.200 VA dinaikkan 10 persen menjadi sebesar 1.589.17 rupiah.

Untuk golongan  di atas 2.200 VA-6.600 VA dinaikkan 15 persen menjadi  1.827,54 rupiah. Untuk golongan pelanggan di atas 6.600 VA dinaikkan 20 persen menjadi 2.193.05 rupiah”, terangnya.

Ia menandaskan penyesuaian dengan prinsip tarif progresif itu, selain mencapai keadilan bagi pelanggan, juga akan mencapai harga keekonomian sehingga dapat memangkas kompensasi yang memberatkan APBN. Sebagai tariff adjustment, pada saat tarif listrik mencapai di atas harga keekonomian, tarif listrik harus diturunkan.[acl[

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.