Pemangkasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) telah menimbulkan setumpuk masalah. Kelangkkaan solar bersubsidi dan jenis lainnya di sejumlah daerah membuktikan bahwa kebijakan tersebut telah salah kaprah.
Kendati Presiden Joko Widodo berdalih, beban pemerintah semakin berat terkait persoalan energi bahan bakar minyak. Bahkan, melalui curhatan Presiden Jokowi belum lama ini disampaikan bila kebijakan pemerintah untuk menahan harga BBM semakin berat, karena jumlah subsidi yang digelontorkan bukan sekedar besar tetapi sangat besar sekali.
Besaran subsidi tersebut dinilainya bisa dipakai untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) lantaran sudah mencapai angka Rp 502 triliun. Membengkaknya beban subsidi tersebut lebih disebabkan oleh meroketnya harga minyak dunia yang menjadi variabel utama pembentuk harga BBM.
Kas negara tak akan kuat menutupi selisih harga minyak dunia yang meroket, terlebih setelah perang Rusia-Ukraina meletus. PT Pertamina (Persero) ikut merugi karena dipaksa menjual solar jauh di bawah harga pasar.
Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), r. Fahmy Radhi, MBA menjelaskan, harga minyak dunia mencapai US $105 per barrel, sedangkan asumsi ICP (Indonesia Crude Oil) APBN ditetapkan sebesar US $63 per barrel. “Selisih ICP dengan harga minyak dunia itulah yang merupakan subsidi menjadi beban APBN, akibat kebijakan Pemerintah tidak menaikkan harga BBM,” ujar Dr. Fahmy Radhi, MBA, di Kampus UGM, Rabu (22/6/2022) dikutip dari laman resmi UGM.
Fahmy menilai curhatan Jokowi terkait subsidi dan kompensasi tersebut salah kaprah. Sebab selama ini dinilainya tidak pernah ada solusi dan hanya berseliweran pada tataran wacana saja.
Padahal, untuk menekan mengelembungnya subsidi dan kompensasi BBM, menurutnya, ada beberapa upaya yang sebenarnya bisa dilakukan. Pertama, penetapan harga Pertamax dan Pertamax ke atas diserahkan saja kepada Pertamina untuk menetapkan harganya sesuai harga keekonomian sehingga negara tidak harus membayar kompensasi akibat adanya perbedaan harga ditetapkan dengan harga keekonomian.
Kedua, tetapkan pembatasan untuk penggunaan Pertalite dan Solar dengan kriteria yang sederhana dan operasional di lapangan. Tetapkan saja bahwa pengguna Pertalite dan Solar hanya untuk Sepeda Motor dan Kendaran Angkutan.
Ketiga, hapus BBM RON 88 Premium. Alasannya, kendati penggunaan Premium sudah dibatasai hanya di luar Jamali, namun impor dan subsidi contents Premium masih cukup besar yang juga menambah beban APBN.
Oleh karena itu, sarannya akan lebih produktif bagi presiden Jokowi untuk mengupayakan subsidi yang lebih tepat sasaran sehingga dapat mengurangi beban APBN. Dengan menurunkan beban subsidi BBM tentunya dana subsidi tersebut dapat digunakan untuk membiayai pembangunan IKN.
“Upaya itu sesungguhnya pernah dilakukan Jojowi di periode pertama pemerintahannya dengan memangkas subsidi BBM dalam jumlah besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur,” paparnya.[acl]