Tak Jauh dari Simpang Mesra, tepatnya di Jalan Alue Naga, Desa Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh terdapat Twins Cafe menyuguhkan konsep berbeda. Bukan hanya menunya, tapi energi terbarukan (EBT) menggunakan arus listrik berasal dari sinar matahari, membuat warung kopi modern ini memiliki nuansa berbeda.
Berkonsep garden and green energy, cafe yang diresmikan pada Maret 2021 ini memiliki 30 lebih lampu utama dan puluhan lampu mini untuk outdoor, empat unit pendingin (kulkas dan freezer), dua unit mesin kopi, satu unit televisi dan lima unit kipas angin yang semuanya beroperasi menggunakan sumber energi bersih.
“Kita pakai yang delapan ampere full tenaga surya. Tidak pernah mati lampu dan tidak pernah rusak-rusak juga,” cerita Manager Twins Cafe, Arif Rianda, Selasa (29/11/2021) lalu.
Pembangkit listrik terbarukan yang dikembangkan Twins Cafe bersumber dari tenaga surya yang ramah lingkungan dan zero emission. Arif juga mengaku menggunakan energi alternatif ini bisa menghemat tagihan listrik dari Rp 5-6 juta menjadi nol rupiah setiap bulannya.
Arif tak menampik, modal awal untuk pembangkit listrik zero emission membutuhkan modal awal minimal Rp 40 jutaan untuk kapasitas empat ampere. Twins Cafe sendiri, mengeluarkan modal sekitar Rp 90 jutaan untuk tegangan listrik dengan kapasitas delapan ampere beserta lampu jalan dan taman yang terpisah dari panel induk.
Dalam pembakit listrik tenaga surya terdapat tiga komponen penting yakni panel sebagai penangkap sinar matahari, power sistem yang mengelola cahaya matahari menjadi arus listrik dan baterai sebagai penyimpan arus listrik.
Lampu jalan dan lampu taman memiliki komponen sendiri yang terpisah dari tenaga surya untuk cafe. Nantinya lampu-lampu ini menyala dan mati pada pagi dan malam hari secara otomatis menyesuaikan antara cahaya matahari dan sensor di setiap lampu.
Menariknya, setiap pagi hari, lampu jalan dan taman ini masih menyisakan simpanan arus listrik walau sudah dipakai semalaman.
“Masih ada sekitar 40 persen arus tersisa, dan dari paginya seharian ngecas lagi dia. Jadinya gak habis-habis arus listrik dari dalam (lampu jalan) ini,” jelas Ari.
Terpisah dengan lampu jalan seperti yang berada di halaman dan taman, tenaga surya untuk pembangkit listrik utama dalam kafe tersebut memiliki 18 panel yang masing-masing menghasilkan 325 volt. Panel dan perlengkapan lain ini membutuhkan sekitar 15 tahun sekali untuk dilakukan perawatan.
Ari berujar, siapapun dia, baik itu pemilik kantor, kafe bahkan rumah tangga, tak ada ruginya menggunakan pembakit listrik dari tenaga surya.
Selain menjaga alam mengurangi pemakaian minyak bumi, lanjutnya, penggunaan tenaga surya juga meminimalisir pemanasan global melalui karbon sisa pembakaran, serta menghemat kantong karena tak perlu pusing memikirkan tagihan listrik setiap bulannya.
Ia bercerita, motivasi beralih ke konsep ramah lingkungan dan energi terbarukan melalui penggunaan tenaga surya di kafe tersebut, mengingat bahan material pembakit listrik seperti minyak bumi pada suatu masa bakal habis.
Dengan tenaga surya, kata Ari, selama matahari yang diberikan masih bersinar, selama itu pula energi yang dihasilkan untuk menyalakan lampu dan alat-alat elektronik lainnya tetap tersedia.
Ia bercerita, negara-negara maju di Amerika dan Eropa mulai bergerak menuju energi terbarukan dan gerakan ramah lingkungan untuk mengantisipasi kehabisan sumber pembangkit energi. Seperti minyak bumi dan meminimalisir peningkatan suhu global yang menyebabkan panas bumi terus bertambah.
“Sekarang sudah tahun 2021, kalau kita gunakan listrik-listrik (PLN) terus otomatis bahan pembangkitnya (minyak bumi) akan habis. Sedangkan tenaga surya, selain ramah lingkungan, juga gratis tagihan bulanan. Kalau ada yang mudah kenapa harus cari yang ribet,” ungkap Ari.
Pihaknya berharap ke depan semakin banyak masyarakat yang sadar betapa pentingnya beralih ke energi terbarukan dan hidup dengan konsep ramah lingkungan. Ari berujar, EBT tidak bisa dipaksakan pada semua orang, namun butuh waktu agar semua sama-sama bergerak menuju ke arah sana.
Ia juga menaruh harapan pada pemerintah khususnya di Aceh agar mendorong setiap kebijakan yang berbasis EBT dan ramah lingkungan. Kampanye terhadap konsep green energy, lanjut Ari, harus tercermin dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, yang manfaatnya nanti dirasakan masyarakat Aceh dalam 5, 10 atau puluhan tahun ke depan.
Isu perubahan iklim dan pemanasan global akibat semakin tingginya emisi sudah menjadi perhatian dunia dan banyak negara. Berdasarkan kesepakatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), setiap negara harus mengupayakan suhu muka bumi tidak mengalami kenaikan lebih dari 2 derajat celsius dari sejak revolusi industri.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada 2020 memprediksi suhu bumi akan naik sekitar 1-1,5 derajat celcius setiap tahun hingga lima tahun mendatang. Salah satu sektor penyumbang emisi terbesar di dunia adalah pengalihan lahan, pertanian, dan perhutanan, dengan kontribusi sebanyak 24 persen. Belum lagi emisi yang dikeluarkan industri, otomotif dan lainnya.
Para ahli berpendapat untuk menekan perubahan iklim global sangat tergantung negara-negara di Asia untuk mengurangi sumber energi kotor, seperti batu bara dan energi fosil. Terutama di kawasan Asia Pasifik penyumbang emisi karbondioksida terbesar dunia, termasuk Indonesia berada pada peringkat enam.
Berdasarkan data terbaru laporan Statistical Review of World Energy 2021 yang dikeluarkan oleh British Petroleum, Cina merupakan negara terbesar penyumbang karbondioksida (CO2) global sebesar 101,905.40 Ton CO2. Setelah itu Amerika Serikat pada peringkat kedua dengan tingkat emisi sebesar 56,373 Ton CO2) dan India sebesar 23,184 Ton CO2.
Dari tiga negara tertinggi penyumbang emisi secara global, terdapat Cina dan India masuk dalam kawasan Asia Pasifik, selain itu Korea Selatan, Kanada dan Indonesia berada pada peringkat 12 secara global. Berikut infografisnya:
Data dari British Petroleum yang dianalisis digdata.id menunjukkan konsumsi energi Asia Pasifik periode 2019-2020 masih sangat tergantung dengan energi kotor. Ini tidak terlepas masih tingginya penggunaan batu bara sebagai sumber energi yang tidak ramah lingkungan.
Konsumsi energi non-renewable atau tidak terbarukan pada 2019 sebesar 95.76 persen, turun tipis pada 2020 sebesar 95.13 persen. Tetapi secara total persentase konsumsi non-renewable 2019-2020 cukup fantastis, yaitu mencapai 95.45 persen.
Indonesia menjadi negara pengekspor sumber energi kotor jenis batubara terbesar di dunia. Berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA) 2020 sebanyak 405 juta ton dikirim ke luar negeri.
Data lainnya menunjukkan Batubara menyumbang lebih dari seperempat konsumsi energi primer dunia. Energi primer mengacu pada energi dalam bentuk aslinya – seperti batu bara dan minyak – dan sebelum diubah menjadi bentuk energi lain.
Laporan British Petroleum menunjukkan nyaris setengah – atau sekitar 47,8 persen – dari energi yang dikonsumsi di Asia-Pasifik tahun lalu berasal dari batubara.
Persentase konsumsi batu bara ini adalah yang tertinggi di antara kawasan lainnya, termasuk Afrika, Eropa, dan Amerika Utara.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa batubara menghasilkan lebih dari setengah energi yang dikonsumsi di Cina dan India tahun lalu. Sementara itu, 42 persen dari total energi yang dihasilkan di Indonesia berasal dari penggunaan batubara.
Transisi energi di kawasan Asia Pasifik dari penggunaan bahan bakar fosil menuju sumber terbarukan masih “terlalu lambat,” kata Gavin Thompson, wakil ketua untuk kawasan tersebut di konsultan energi Wood Mackenzie.
Dampaknya laju pertumbuhan emisi selama satu dekade (2010-2020) mengalami peningkatan tajam di Asia Pasifik, termasuk Indonesia yang merupakan negara eksportir batubara terbesar di dunia.
Data menunjukkan pertumbuhan emisi CO2 dari 2010-2020 secara umum meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 20.11 persen, meskipun sempat menurun pada 2020. Vietnam merupakan negara pertumbuhan emisi mencapai 130.63 persen dengan laju pertumbuhannya sebesar 8.72 persen.
Kawasan Asia Pasifik menjadi penyumbang emisi terbesar secara global karena sumber energi yang digunakan masih mengandalkan energi kotor atau tidak terbarukan. Seperti batu bara, minyak fosil maupun sejumlah energi tidak terbarukan lainnya.
Data British Petroleum menunjukkan, pada 2019 di Kawasan Asia Pasifik penggunaan energi kotor sebesar 90.98 persen dan sedikit menurun 2020 sebesar 89.77 persen dan totalnya gabungan dua tahun sebesar 90.37 persen.
Tingkat pertumbuhan emisi di Asia Pasifik sejak 2011 trennya mengalami penurunan, kendati pada 2017-2018 kembali mengalami kenaikan. Tetapi selama pandemi Covid-19, emisi tahunan turun drastis pada 2020 lalu.
Pada saat itu jumlah kasus positif Covid-19 meningkat secara global. Bahkan sejumlah negara melakukan penguncian di perbatasan dan melarang ada warga negara asing masuk ke suatu negara, sehingga berdampak banyak industri tutup dan perusahaan bangkrut.
International Labour Organization (ILO) mencatat, selama pandemi Covid-19 di Asia Pasifik telah membuat 81 juta pekerjaan hilang, terutama bagi wanita dan anak muda.
CNBC Indonesia juga melaporkan, 46 perusahaan di Amerika Serikat selama pandemi mengajukan bangkrut dengan nilai US$ 46 miliar.
Bahkan, nilai perusahaan yang mengajukan bangkrut kali ini tercatat lebih parah dibandingkan dengan krisis keuangan pada 2009 lalu. Kala itu, setidaknya perusahaan yang mengajukan bangkrut bernilai US$ 38 miliar.
Sementara itu, sebanyak 157 perusahaan dengan nilai kewajiban US$ 50 juta juga mengajukan bangkrut pada tahun ini. Perusahaan tersebut termasuk 24 perusahaan retail seperti JCPenney, Brooks Brothers, dan Neiman Marcus, yang semuanya mencari perlindungan dari kreditor dalam beberapa bulan terakhir.
Tak hanya itu, perusahaan minyak dan gas besar juga terkena dampaknya. Ada 33 pengajuan di industri tahun ini, termasuk Chesapeake Energy, Whiting Petroleum, dan Diamond Offshore Drilling.
Begitu juga Indonesia selama pandemi Covid-19 pertumbuhan emisi turun drastis hingga angka -7,14 persen pada 2020. Padahal bila ditinjau pada 2019 lalu, sebelum dilanda Pandemi Covid-19, laju pertumbuhan emisi di Indonesia berada di 8.64 persen.
Penurunan emisi ini tidak terlepas seluruh aktivitas ekonomi di Indonesia pada 2020 sempat terhenti. Banyak industri harus tutup, karyawan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sebagian lagi dirumahkan, karena aktivitas warga dibatasi untuk memutus mata rantai virus corona.
Ketua Satgas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk PKPU dan Kepailitan Eka Wahyu Ningsih menyebutkan, ada 1.298 permohonan PKPU dan pailit selama tiga semester terakhir.
Penyebab Emisi Tinggi
Perubahan iklim masih menjadi perbincangan hangat secara global, terutama di kawasan Asia Pasifik masih sangat tergantung sumber energi tidak terbarukan, seperti batu bara, gas, minyak dan sumber energi lainnya menjadi faktor utama terjadinya kerusakan lingkungan yang mengarah pada perubahan iklim.
Beberapa negara di Asia Pasifik tengah mengejar ketertinggalan untuk mengentaskan kemiskinan, terutama setelah dihantam pandemi Covid-19. Angka pengangguran masih tinggi, sehingga membutuhkan pembukaan lapangan pekerjaan yang banyak agar bisa pulih dari keterpurukan.
Bank Dunia mencatat, pada tahun 2020, angka kemiskinan di kawasan Asia Timur dan Pasifik tidak turun untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun terakhir. Diperkirakan 32 juta penduduk di kawasan ini gagal keluar dari kemiskinan (dengan garis kemiskinan pada 5,5 dollar AS per hari) akibat pandemi.
“Kejutan perekonomian yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 menghambat penurunan angka kemiskinan dan meningkatkan ketidaksetaraan,” ujar Victoria Kwakwa, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik dalam konferensi pers virtualnya, Jumat (26/3/2021) dikutip dari suara.com.
Tetapi disisi lain, kawasan Asia Pasifik juga harus merespon perubahan iklim yang terjadi, mengingat kawasan ini penyumbang emisi terbesar dunia, terutama Cina, India dan beberapa negara lainnya.
Kendati Amerika Serikat juga berdasarkan data menunjukkan peringkat kedua penyumbang emisi terbesar di dunia. Cina penyumbang karbondioksida (CO2) sebesar 101,905.40 Ton CO2, sedangkan Amerika Serikat setengah dari Cina, yaitu sebesar 56,373 Ton CO2) dan peringkat kedua di dunia penyumbang emisi.
Untuk meningkatkan pembangunan dan produktivitas warga agar dapat keluar dari angka kemiskinan membutuhkan sumber energi yang banyak. Namun negara-negara di Asia Pasifik sekarang masih sangat ketergantungan dengan sumber energi kotor, seperti batu bara, minyak, gas.
Laporan British Petroleum sumber energi listrik yang dihasilkan di Kawasan Asia Pasifik pada 2019-2020 masih tidak terbarukan. Pada 2019 lalu tidak terbarukan 90.98 persen, turun tipis pada 2020 89.77 persen. Tetapi bila digabungkan dalam dua tahun terakhir 90.37 persen bersumber dari energi kotor.
Sedangkan energi terbarukan masih sangat sedikit dipergunakan di Kawasan Asia Pasifik, yaitu pada 2019 hanya 9,02 persen dan sedikit mengalami peningkatan pada 2020 sebesar 10.23 persen. Tetapi bila digabungkan penggunaan energi bersih selama dua tahun itu hanya pada angka 9.63 persen.
New Zealand Pengguna Renewable
Negara yang paling banyak menggunakan energi terbarukan di Asia Pasifik adalah New Zealand sebesar 25.11 persen dan Indonesia hanya 10 persen. Sebagian besar sumber energi saat ini masih sangat tergantung dari batu bara yang tidak ramah lingkungan.
Perubahan iklim global terjadi dekade ini adalah akibat ulah manusia sendiri, karena masih sangat ketergantungan sumber energi fosil. Bahkan saat udara kotor akibat polusi dari dikeluarkan emisi juga berdampak buruk pada kesehatan pernapasan manusia, terutama negara berkembang.
Sebuah pembuktian ilmiah oleh organisasi independen Amerika menegaskan bagaimana perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca akan meningkatkan kemungkinan orang terkena penyakit pernapasan.
Ini diperkuat juga dalam sebuah artikel ilmiah lainnya yang disusun oleh organisasi independen Eropa yang memvalidasi dampak perubahan iklim terhadap kerentanan manusia terhadap penyakit pernapasan.
Leave a comment