Home Data Bicara Butuh Waktu 171 Tahun untuk Pulihkan Hutan Aceh
Data BicaraHutan AcehJurnalisme Data

Butuh Waktu 171 Tahun untuk Pulihkan Hutan Aceh

Share
Ilustrasi. Foto by betahita.id
Share

Isu deforestasi, kerusakan alam belum jamak dibicarakan di ruang publik di Provinsi Aceh. Padahal kondisi hutan Aceh sekarang sedang tidak baik-baik saja, menjadi ancaman besar terhadap pembangunan, konflik manusia dengan satwa, bencana banjir hingga terjadinya krisis iklim.

Sejak 2015 hingga 2022 deforestasi di Aceh memang menurun, namun jangan berbangga dulu, karena  dalam 4 tahun terakhir mengalami kenaikan yang tidak boleh diabaikan. Karena kemampuan untuk mengembalikan tutupan hutan yang rusak dari Pemerintah Aceh tidak sebanding dengan laju kerusakan selama kurun waktu 8 tahun terakhir..

Pada rentang waktu 2018 – 2019 saja meningkat 0,46 persen, artinya ada penambahan seluas 69 hektar. Meskipun luasannya tidak mencapai 1 persen, namun bila terus dibiarkan tanpa ada penanganan dan melakukan reforestasi, kondisi hutan Aceh bakal terus terdegradasi.

Deforestasi pada 2020 – 2021 memang sempat menurun dari 14,759 hektar turun menjadi 9,028 hektar. Kendati ada kabar gembira pada tahun tersebut, tetapi ternyata tahun setelah itu justru kembali mengalami peningkatan pada 2022 lalu sebesar 3,78 persen, yaitu  bertambah seluas 355 hektar menjadi 9,383  hekar.

Infografis: Arhami/WALHI Aceh

Laju deforestasi hutan Aceh periode 2015 – 2022 mencapai 130,743 hektar atau sekitar 22 kali luas Kota Banda Aceh yang luasnya hanya 6,136 hekar. Sementara kemampuan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh yang mampu merehabilitasi hutan rusak rata-rata per tahun antara 785 hektar.

Bila rata-rata Pemerintah Aceh mampu merehabilitasi hutan hanya 785 hektar per tahun, maka membutuhkan waktu sekitar 171 tahun agar tutupan hutan yang sudah rusak dapat dipulihkan kembali. 

Tetapi dengan satu syarat angka deforestasi pada 2023 hingga seterusnya dapat dihentikan atau nol kerusakan tutupan hutan. Namun bila ada penambahan, maka akan membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk memulihkan tegakan hutan yang rusak.

Sementara faktanya jauh panggang dari api bila hendak memulihkan hutan dengan kemampuan reforestasi dari pemerintah Aceh saat ini. Karena data menunjukkan, rata-rata laju deforestasi hutan Aceh seluas 14,527 hektar per tahun dalam kurun waktu 2015 – 2022, lebih tinggi dibandingkan kemampuan dalam melakukan perbaikan hutan.

 Infografis; Arhami/ WALHI Aceh

Oleh karena itu, pencegahan deforestasi, penindakan pelaku hingga ke pemodal, dan penyadaran masyarakat pentingnya menjaga hutan harus diperkuat. Begitu juga harus dibatasi investasi ekstraktif yang merusak bentang alam, terutama investasi perkebunan sawit, tambang maupun lainnya.

Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) juga menjadi persoalan klasik saat ini terjadi kehilangan tutupan hutan. Bahkan praktek tambang emas ilegal ini justru lebih parah dampaknya, karena keberadaannya berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), hutan lindung hingga masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Yang harus dipahami bahwa Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh melakukan rehabilitasi hutan dan lahan, bukan khusus tutupan hutan, terutama dalam kawasan yang telah rusak.

Dikutip dari forestdigest.com, secara normatif rehabilitasi hutan dan lahan dibedakan menjadi dua kegiatan, yakni rehabilitasi hutan dengan kegiatan pokok revegetasi tanaman hutan yang lebih dikenal dengan istilah reboisasi atau reforestasi (reforestation). 

Tapi reboisasi adalah kegiatan menanami kembali lahan yang kritis dengan spesifik di kawasan hutan. Adapun kegiatan sama jika berada di luar kawasan hutan disebut penghijauan atau aforestasi.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 35/2022 tentang dana reboisasi, empat istilah kehutanan tersebut dijelaskan dengan ringkas dan spesifik:

  1. Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam sistem penyangga kehidupan tetap terjaga,
  2. Reboisasi adalah upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak, berupa lahan kosong, alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan, sedangkan
  3. Penghijauan adalah upaya pemulihan lahan kritis di luar kawasan hutan secara vegetatif dan sipil teknis untuk mengembalikan fungsi lahan.

Jika ditilik lebih jauh, rehabilitasi hutan dan rehabilitasi lahan sebenarnya berbeda jika melihat ukuran keberhasilannya. Karena luasnya kompak dan satu hamparan, keberhasilan rehabilitasi hutan diukur dari jumlah tanaman yang hidup dan tumbuh serta luas tanaman yang berhasil menjadi pohon dewasa minimal umur 15 tahun. 

Sementara rehabilitasi lahan biasanya mencakup area yang lebih kecil, terpisah, terpencar, tidak kompak, sehingga ukuran keberhasilannya adalah tingkat partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam menanam tanaman hutan. Makin banyak orang terlibat menanam pohon, makin tinggi pula tingkat partisipasi dan kesadaran masyarakat terhadap rehabilitasi lahan.[acl]

Share
Related Articles
BeritaHeadlineJurnalisme Data

Keruk Emas di Benteng Ekologi (3)

Peta angkasa menunjukkan, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) merambah Kawasan Ekosistem Leuser...

HeadlineJurnalisme Data

Bencana Hidrologi Ancam KEL (2)

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), salah satu kawasan hutan tropis terpenting di dunia...

BeritaHeadlineJurnalisme DataKawasan Ekosistem Leuser

KEL Kian Terancam, Mengundang Bencana Ekologi (1)

Lebih dari setengah hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) telah terdegradasi akibat...

BeritaHeadlineHutan AcehNews

“17 Surat Cinta” Membuka Mata Indonesia tentang Deforestasi dari Aceh sampai Papua

Gala Premiere Film dokumenter “17 Surat Cinta” diputar serentak di sejumlah wilayah...