Sewindu sudah putusan Mahkamah Agung (MA) perusahaan PT Kallista Alam bersalah atas kebakaran lahan seluas seribu hektar di area lahan gambut Rawa Tripa Kabupaten Nagan Raya, namun eksekusi belum kunjung dilakukan dan perusahaan terus melawan.
Alih-alih melakukan eksekusi, Negara beserta perangkat hukum nya seolah tak berdaya ketika berhadapan dengan korporasi besar di Indonesia. Perusahaan raksasa perkebunan sawit itu, hingga sekarang masih melenggang bebas dari tanggung jawabnya.
Padahal, PT Kallista Alam sudah dinyatakan bersalah dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak tanggal 28 Agustus 2015, saat keluarnya Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 651 K/Pdt/2015.
Sebagai hukumnya, perusahaan harus membayar ganti rugi materil sebesar Rp 114,3 miliar dan memulihkan lingkungan hidup sekitar Rp 251,7 miliar dengan total ganti rugi sebanyak Rp 366 miliar.
Selain menghukum PT Kallista Alam dengan membayar sejumlah uang, pengadilan juga telah meletakkan sita jaminan terhadap tanah, bangunan, dan tanaman di atas areal Hak Guna Usaha (HGU) PT Kallista Alam seluas 5.769 hektar yang terletak di Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya.
Peletakkan sita jaminan pada dasarnya bertujuan untuk menjamin putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Apabila PT Kallista Alam tidak mau membayar sejumlah uang sebagaimana diputuskan oleh pengadilan secara sukarela, maka objek sita jaminan tersebut dapat dieksekusi (dijual lelang) oleh pengadilan, yang hasilnya digunakan untuk memenuhi amar putusan (ganti rugi dan pemulihan lingkungan).
Kendati demikian, PT Kallista Alam terkesan hendak menghindar dari tanggung jawabnya. Mereka justru terus melakukan perlawanan – seakan-akan mereka tidak bersalah. Tetapi upaya perlawanan mereka selalu mentah, hingga ke tingkat Peninjauan Kembali (PK), MA tetap memenangkan KLHK sebagai penggugat, artinya putusan sudah bersifat inkracht dan harus segera dieksekusi.
Di sisi lain, Pengadilan Negeri (PN) Suka Makmue selaku pihak yang berwenang melaksanakan eksekusi juga tidak kunjung menjalankan amanah putusan MA, sehingga upaya pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar tidak dapat dilaksanakan.
Sementara, Sejumlah pihak menuntut adanya percepatan eksekusi aset perusahaan PT Kallista Alam, mengingat perkara yang sudah inkracht sejak delapan tahun yang lalu masih berjalan ditempat.
Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat menjelaskan bahwa yang ditetapkan sebagai objek sita jaminan itu merupakan tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang memiliki batas waktu.
“Apabila batas waktunya habis maka eksekusi tidak bisa lagi dijalankan sehingga HGU tersebut akan menjadi tanah negara,” ujar Qodrat.
Ketua Forum Komunikasi Anak Bangsa Kabupaten Nagan Raya, Hasbullah juga berharap agar eksekusi tersebut segera dipercepat agar pemulihan lingkungan dapat segera dilakukan.
“Kalau memang sudah dieksekusi maka akan segera kita hijaukan kembali, mengingat sudah tujuh tahun seperti itu,” ujar Hasbullah.
Perhitungan Nilai Aset Belum Jelas
Alih-alih menanti eksekusi, perhitungan nilai aset perusahan saja sampai saat ini masih berlarut-larut.
Koordinator Humas Pengadilan Negeri Suka Makmue, Bagus Erlangga menyampaikan bahwa pihaknya telah berupaya untuk melakukan eksekusi putusan, namun masih terkendala dengan laporan nilai aset yang dilakukan oleh tim appraisal.
“Sebelum kita melakukan eksekusi, disitu ada dilakukan perhitungan dahulu oleh tim appraisal terhadap nilai aset yang akan dieksekusi,” ujar Bagus saat ditemui pada Kamis (20/10/2022) oleh Tim Forum Jurnalis Lingkungan Aceh
Tim Appraisal merupakan jasa perkiraan harga jual sebuah aset. Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Mushofah Mono Igfirly dan rekan merupakan tim appraisal kedua yang ditunjuk oleh KLHK untuk melakukan perhitungan nilai aset yang dimiliki oleh PT Kallista Alam.
Hingga kini perhitungan nilai aset perusahaan PT Kallista Alam oleh tim appraisal baru belum juga ditunaikan dengan alasan kesulitan untuk bisa mengakses masuk ke lokasi perusahaan sehingga perlu adanya dampingan dari aparat keamanan.
“Kami juga telah berkoordinasi dengan pihak kepolisian namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjut,” jelas Bagus.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol. Winardy mengatakan tim appraisal kesulitan untuk masuk ke wilayah perkebunan PT Kallista Alam karena adanya penolakan dari sejumlah masyarakat terutama yang bekerja di perusahaan perkebunan tersebut.
“Kita sudah melakukan penyelidikan, kita sudah turunkan pihak intelijen untuk menilai, dan hasilnya memang belum kondusif karena sebagian masyarakat terutama yang bekerja di PT Kallista Alam melakukan penolakan,” ujar Winardy saat ditemui oleh Forum Jurnalis Lingkungan di Aula Presisi Mapolda Aceh, Jumat (11/11/2022).
Pihaknya menginginkan ada kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak (win win solution) karena ada banyak aspek yang harus diperhatikan sebelum melakukan pengamanan.
“Mereka bekerja, mata pencahariannya di sana sehingga framing-framing yang terbentuk itu harus kita kikis pelan-pelan, kita memberi edukasi disana bahwa ini tujuannya bukan untuk penyitaan, tapi tujuannya hanya untuk menilai aset kebun dan sebagainya,” jelas Winardy.
Polda Aceh kini hanya dapat berkomunikasi dengan Polres Nagan Raya yang juga melakukan sosialisasi dan mediasi dengan Forkopimda Nagan Raya dan PT Kallista Alam yang sampai saat ini belum ada titik terang untuk tim appraisal masuk dan melakukan perhitungan nilai aset.
Direktur Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan mempertanyakan eksekusi PT Kallista Alam yang bahkan perhitungan nilai asetnya saja tak kunjung dilakukan mengingat putusan eksekusi PT Kallista Alam sudah Inkrah sejak tujuh tahun yang lalu.
“Mengapa eksekusi putusan ini sudah tujuh tahun tidak dijalankan, jangan-jangan ada yang bermain dengan ini semua,” tegas Sudirman.
Penegak Hukum Tak Boleh Lemah
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Salihin menilai, perkara PT Kallista Alam yang kian semrawut, terus molor eksekusi putusannya membuktikan penegak hukum lemah dan tak berdaya berhadapan dengan korporasi raksasa yang ada Indonesia. Berbanding terbalik ketika negara berhadapan dengan masyarakat kecil, proses eksekusi bisa berjalan mulus.
Perkara ini tentu tidak boleh dibiarkan terus berlarut tanpa memperoleh kepastian hukum yang konkret. Penegak hukum, sebut Om Sol, sapaan akrab Direktur WALHI Aceh tidak boleh lemah dengan mafia korporasi.
Berlarutnya putusan ini, menurut Om Sol semakin memperlihatkan ketidakberdayaan penegak hukum berhadapan dengan korporasi di Indonesia. Padahal tidak ada alasan penegak hukum tidak mengeksekusi, karena basis putusannya yang sudah kuat berdasarkan putusan MA.
“Dengan basis putusan yang kuat, kok bisa mampu dihalangi oleh suatu kelompok, kok lemah di hadapan mafia korporasi,” ungkap Om Sol.
Bila alasan tim penilai aset belum bisa masuk ke lokasi perusahaan, sebutnya, ini bukan alasan yang masuk akal. Dengan kekuatan dan kewenangan penegak hukum yang dimiliki, seharusnya dapat memaksa perusahaan untuk memberi akses tim penilai aset masuk ke lokasi perusahaan yang sudah ada putusan tersebut.
“Jadi gak ada alasan tidak bisa masuk,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, WALHI Aceh meminta penegak hukum untuk memberikan pengamanan yang ekstra kepada tim perhitungan aset, sehingga putusan bisa segera diimplementasikan. Penegak hukum, diminta tidak boleh lemah di hadapan korporasi.[acl]
Tulisan ini sudah pernah dimuat di website Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dengan judul Lika Liku Perkara Kallista Alam