Krueng Aceh merupakan sungai yang mengaliri dua kabupaten kota yakni Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, dan termasuk satu dari 68 sungai kelas nasional. Melewati dua wilayah besar, menjadikan Krueng Aceh tidak lepas dari problematika mikroplastik.
Hal ini mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh bersama WALHI Aceh, Digdata.id dan Tim ESN dengan tema “Mikroplastik Ancam Krueng Aceh” di Kantor WALHI Aceh pada Jumat, 3 Juni 2022. Diskusi ini turut menghadirkan Prigi Arisandi selaku Tim Ekspedisi Sungai Nusantara, Dr Muhammad Nizar, S.T., M.T. selaku Kaprodi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah dan Cut Maisita dari Dinas LHK Aceh.
Tim ESN Prigi Arisandi menjelaskan, ekpedisi sungai nusantara memiliki empat tujuan besar, yakni mendeteksi kesehatan sungai, mendokumentasikan perjalanan, mengabarkan kondisi sungai kepada masyarakat luas dan mengajak seluruh lapisan masyarakat, LSM, aktivis serta pemerintah untuk bertanggung jawab terhadap pada kebersihan sungai.
“Ada ancaman serius di sungai kita yang asalnya juga dari kita, manusia. Saat Mikroplastik mencemari sungai, yang terganggu bukan hanya manusia, tapi juga organisme didalamnya, ada ikan dan mikroogranisme lain didalamnya,” ujar Prigi.
Dalam mendeteksi kesehatan Krueng Aceh, Tim ESN lainnya telah mengambil sampel air Krueng Aceh untuk uji kualitas air dan kontaminasi Mikroplastik pada Sabtu dan Minggu, 28-29 Mei 2022. Pengambilan sampel air dilakukan di empat titik yang mewakili Segmen Hulu, Segmen Tengah dan Segmen Hilir.
Keempat titik tersebut yakni , Lambeugak dan Keumireu (Segmen Hulu), Lambaro (Segmen Tengah) dan Beurawe (Segmen Hilir). Jika diurutkan berdasarkan total kandungan mikroplastik dalam air sungai, maka hasilnya adalah Lambeugak 36 PM/100L, 60 PM/100L, 90 PM/100L dan 150 PM/100L. Kontaminasi mikroplastik di Krueng Aceh itu polanya semakin ke hilir semakin banyak ditemukan mikroplastik.
“Temuan mikroplastik di Krueng Aceh banyaknya sampah plastik yang dibuang di badan air sungai, beragam jenis sampah plastik seperti tas kresek, sachet makanan, Styrofoam, popok bayi dan packaging (bungkus) personal care seperti sachet shampo, sabun, detergen cuci dan botol plastik minuman” ungkap Prigi Arisandi.
Kabid UPL Dinas LHK Aceh, Cut Maisita mengatakan, pihaknya juga rutin melakukan pengecekan kondisi sungai setiap musim kemarau dan musim hujan. Sejauh ini, hasil pemantauan sungai di laboratorium masih memenuhi standar baku mutu air.
“Untuk sungai yang melintasi dua kota/kabupaten tanggung jawabnya pemantauannya dilakukan oleh DLHK Provinsi, namun jika hanya melingkari satu kabupaten maka tanggung jawabnya diserahkan kepada DLHK Kabupaten,” tambahnya.
Dosen Prodi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah dan Peneliti Sampah Perkotaan, Muhammad Nizar mengatakan, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi produksi sampah dan penumpukan sampah. Diantaranya, memperkuat keterlibatan masyarakat dalam penanganan sampah, dapat dilakukan dengan membentuk polisi sampah atau menyusun Qanun persampahan.
“Untuk insenerator, rasanya Aceh masih belum efektif untuk bisa mengadopsi teknologi ini. Selain biaya pengoperasiannya mahal, produksi sampah harian kota Banda Aceh dan Aceh Besar juga belum mencukupi standar jumlah bahan bakar alat ini”, tambahnya.
Maka dari itu, penanganan sampah harus dimulai dari kesadaran diri sendiri. Selain itu, solusi yang dapat dilakukan adalah mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai.
Cut Maisita menjelaskan, pengurangan sampah plastik juga dapat dilakukan dengan membawa tas atau totebag saat berbelanja. Bahkan dibeberapa toko dan pelaku usaha di Banda Aceh, sudah menerapkan hari bebas plastik kepada pelanggan saat ingin berbelanja, yang mewajibkan pembelinya membawa tas saat berbelanja. (Yan)