Abdul Hadi tampak sibuk menyiram bibit mangrove di tempat penyemaian, sembari membersihkan rumput sore itu, Selasa (7/2/2023). Aktivitas ini ia lakukan saban hari untuk melestarikan tumbuhan yang mampu menyimpan dan menyerap karbon 4-5 kali lebih banyak dari hutan tropis daratan.
Tempat konservasi mangrove terletak di Sayeung, Kampong Baroe, Kecamatan Setia Bakti, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Lokasinya berada di bibir pantai dianugerahi hutan mangrove seluas sekitar 500 hektar lebih.
Labirin hijau tumbuh di perairan yang tenang dan mengalir melalui sungai yang bermuara ke laut, memancarkan pesona alam yang dapat memanjakan mata. Selain itu, kawasan mangrove tersebut juga berperan penting dalam melindungi pesisir dan nelayan sekitar serta menjadi habitat berbagai biota sungai, termasuk buaya.
“Saya lahir di Sayeung dan tinggal di Sayeung dan sudah cukup lama bergelut menjaga ekosistem mangrove,” kata Abdul Hadi.
![](https://digdata.id/wp-content/uploads/2023/02/mang01-1024x681.jpg)
Bagi Abdul Hadi, melestarikan mangrove untuk menjaga kesimbangan ekosistem laut dan lingkungan hidup lainnya. Sebab ia tahu hutan mangrove adalah penyerap karbon untuk mencegah perubahan iklim, tulang punggung bagi kesehatan planet, keragaman hayati, dan menjadi tempat mata pencaharian nelayan.
Alasan itulah kemudian Abdul Hadi menghibahkan diri melestarikan mangrove untuk kepentingan generasi yang akan datang. Apa lagi Hadi menyadari, menurut data terbaru dari PBB secara global, hutan mangrove mampu menyerap sebanyak 22,8 juta ton karbon setiap tahunnya.
Lantas dalam perjalanan Abdul Hadi berpikir, hutan mangrove tidak hanya sebatas melestarikan saja, tetapi harus memiliki nilai ekonomi untuk dapat melibatkan banyak orang. Lalu bersama masyarakat ia menggagas upaya konservasi dan ekowisata mangrove di Sayeung.
Bak gayung disambut, gagasannya direspon positif oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) pada 2020 lalu, hingga mendapat suntikan dana dari kementerian tersebut. “(Saya) memprioritaskan dan memanfaatkan hutan mangrove dan ekosistemnya dengan melibatkan masyarakat sebagai kemudi misi,” ungkapnya.
Mendirikan Yayasan
Untuk menjalankan misinya, Abdul Hadi mendirikan yayasan bernama Yayasan Aceh Jaya Mangrove Institute (AMI). Pendirian yayasan tersebut mendapatkan dukungan dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL).
Terbentuknya yayasan ini, sehingga dapat memberikan edukasi tentang hutan mangrove kepada masyarakat khususnya kaum pelajar; bagaimana peran mangrove terhadap lingkungan, bagaimana peran mangrove untuk pesisir pantai serta seberapa pentingnya hutan mangrove untuk perikanan lokal.
Yayasan AMI terdapat beberapa program belajar gratis seperti belajar lapangan, edukasi KKP (Kuliah Kerja Praktek), tugas akhir bagi mahasiswa, bakti sosial penanaman mangrove, mahasiswa magang serta rumah bibit mangrove. “Saya mendirikan yayasan ini pada tahun 2021, di mana nantinya yayasan ini dapat menjadi wadah untuk belajar tentang mangrove, seperti masyarakat, siswa, mahasiswa serta dosen,” terangnya Abdul Hadi
Katanya, Yayasan AMI mendukung setiap kegiatan penanaman mangrove di seluruh Aceh Jaya dengan menyumbang bibit secara gratis, terus melakukan penanaman di sepanjang tahun. “Kita akan menyumbang apabila ada kegiatan penanaman mangrove, seringnya mereka mengambil ke lokasi pembibitan.,” ucapnya.
Dengan tersedianya bibit di Yayasan AMI, sebutnya, upaya konservasi mangrove dapat terus dilakukan dan diperluas untuk melestarikan keajaiban alam ini; hutan mangrove, untuk masa yang akan datang.
Menemui Nelayan Lokal
Selang beberapa hari, tepatnya Sabtu (11/2/023) reporter digdata.id bertemu dengan nelayan yang mencari nafkah di kawasan ekowisata mangrove tersebut. Untuk menuju ke lokasi cukup mudah, karena jalan semua sudah teraspal.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, terlihat seorang nelayan masih sedang mencari ikan di lokasi tersebut. Selain itu ada juga sejumlah orang sedang memancing ikan di pinggir lokasi tersebut.
Begitu juga sejumlah nelayan lain sedang sibuk memasang jaring di lokasi ekosistem mangrove tersebut. Mereka harus berburu dengan waktu, karena saat itu matahari sudah mulai terbenam, pertanda memasuki waktu magrib.
Dari kejauhan, reporter digdata.id melihat ada seorang nelayan sedang menepikan perahu di dermaga kecil di lokasi tersebut. Namanya Adi yang menggantungkan pendapatannya dari hasil alam yang ada di kawasan mangrove tersebut.
![](https://digdata.id/wp-content/uploads/2023/02/mang09-1024x681.jpg)
“Saya sehari-hari sering mencari kepiting di perairan ini, kadang ada masuk perangkap, ada juga masih kosong gak ada masuk kepiting, kalau dapat rezeki banyak saya akan menjualnya ke pasar,” kata Adi membuka percakapan.
Kendati demikian, Iwan, seorang nelayan lainnya bercerita siapapun yang hendak mencari ikan atau hasil alam lain di lokasi tersebut agar selalu waspada. Ternyata hutan mangrove tersebut juga menjadi habitatnya buaya, hewan laut yang dilindungi karena populasinya terus berkurang.
“Kami sangat hati-hati ketika mencari ikan, memancing, di sini ada buaya bisa saja menerkam saya dari bawah air,” ucap Iwan.
Setelah berbincang-bincang beberapa saat, reporter digdata.id berkesempatan untuk keliling hutan mangrove menggunakan perahu milik Iwan. Sekitar 200 meter Iwan membawa keliling ke tempat pemasangan jaring. Karena hari semakin gelap, Iwan kemudian mengajak segera menyelesaikan pekerjaannya.
“Kalau air keruh begini, biasa udang susah masuk ke dalam jaring, bagusnya air jernih lagi biasanya udang banyak masuk,” jelas Iwan.
Hutan mangrove menyimpan banyak manfaat, baik untuk mencegah perubahan iklim juga bernilai ekonomi sebagai sumber pendapatan nelayan. Hutan mangrove juga menyediakan pembibitan bagi sebagian spesies ikan, udang dan kepiting untuk berkembang biak.[acl]
![](https://digdata.id/wp-content/uploads/2023/02/mang10-1024x681.jpg)
Reporter: Mutaqin (Mahasisa Magang MJC AJI Banda Aceh)
Editor: Afifuddin Acal