Ujaran Kebencian Terhadap Kelompok Minoritas Meningkat Selama Pilpres 2024

Sepanjang kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, ujaran kebencian menyasar sembilan kelompok minoritas meningkat. Media Sosial (Medsos) yang banyak terdapat unggahan tersebut adalah twitter mencapai 66,1 persen.

Monash University Indonesia bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia melakukan penelitian berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sejak 1 September 2023 hingga Januari 2024. Temuannya memang cukup mencengangkan, mayoritas ujaran kebencian menyerang identitas dan beberapa unggahan penghinaan lainnya.

Temuan peneliti menunjukkan ujaran kebencian paling banyak muncul di Twitter sebanyak 51,2 persen, Facebook 45,15 persen dan Instagram 3,34 persen. “Jumlah ujaran kebencian tertinggi terjadi dua hari setelah debat calon presiden pada 7 Januari 2024 yang bertema Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, dan Geopolitik,” kata peneliti Monash University, Ika Idris dikutip dari website AJI Indonesia.

Kata Ika, terdapat dua peristiwa penting yang memantik percakapan di media sosial, yakni penyerangan Gaza oleh Israel dan kedatangan pengungsi Rohingya. Sehingga peneliti menambahkan dua kategori pencarian, yakni Yahudi dan Rohingya. Hasilnya, sebanyak 26,9 persen atau 182.118 dari total 678.106 teks mengandung ujaran kebencian.

Sebanyak 61.340 teks atau sekitar 9,05 persen berkaitan langsung dengan isu pemilihan umum. Dari jumlah tersebut, terdapat 46,31 persen yang mengandung ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas.

Peneliti Monash, Derry Wijaya menjelaskan riset ini mengelompok ujaran kebencian dalam enam kategori, yakni serangan terhadap identitas, hinaan, ancaman/hasutan, kata-kata kotor, seksual/vulgar, dan lainnya. Sebuah teks, apalagi yang panjang, dapat mengandung lebih dari satu kategori ujaran kebencian sehingga peneliti menghitung semua kemungkinan kategori yang ada dalam satu teks.

Hasilnya, kategori serangan terhadap identitas mendominasi bentuk ujaran kebencian sebanyak 123.968, hinaan 104.664, kata-kata kotor 42.267, ancaman/hasutan 39.153 teks, seksual/vulgar 3.528 teks, dan lainnya 5.665 teks.

Serangan terbanyak menimpa kelompok Yahudi sebanyak 90.911 teks. Kemudian kelompok disabilitas sebanyak 4.6278 teks, Tionghoa 9.563 teks, LGBTIQ 7.262 teks, lainnya 5.587 teks, Kristen & Katolik 4.755 teks), Syiah 1.214 teks, dan Ahmadiyah 55 teks.

Ujaran kebencian terbanyak ditujukan terhadap kelompok Yahudi karena peristiwa serangan Israel di Gaza. Adapun, kelompok disabilitas menunjukkan percakapan intens tentang buta hukum, tuli terhadap suara rakyat, yang menekankan konteks kecacatan hukum dan kecacatan demokrasi.

Unggahan ujaran kebencian terbanyak muncul di X sebanyak 120,381 unggahan atau 66,1 persen. Kemudian Facebook sebanyak 56,780 teks atau 31,18%, dan Instagram 4,472 teks atau 2,46%.

Unggahan yang mengandung ujaran kebencian di Facebook dibagikan sebanyak 4 Juta kali dengan jumlah komentar sebanyak 15 juta. Di Instagram, unggahan yang mengandung ujaran kebencian disukai (love) oleh 181 juta orang dan dibagikan sebanyak 9 juta kali. Di X, cuitan unggahan kebencian dilihat sebanyak 51 miliar kali, menjangkau 5 miliar pengguna, dan dibagikan sebanyak 6 juta kali.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AJI Indonesia, Ika Ningtyas menyebutkan AJI menginisiasi kolaborasi pemantauan ujaran kebencian untuk melihat tren ujaran kebencian secara daring dan mendorong jurnalis memproduksi pemberitaan yang mendukung keberagaman dan penguatan hak- kelompok minoritas.

Peluncuran dashboard ujaran kebencian ini merupakan rangkaian kegiatan AJI untuk merespon Pemilu 2024. Ujaran kebencian pada pemilu 2014 dan 2019 digunakan untuk tujuan mengecek suara pemilih sehingga memicu polarisasi. Ujaran kebencian itu berujung pada stigma, persekusi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Media massa seharusnya bertanggung jawab meredam ujaran kebencian dan memproduksi narasai alternatif untuk mendukung hak-hak kelompok minoritas. “Masalahnya, sejumlah media massa mengamplifikasi narasi kebencian yang diproduksi pasukan siber di media sosial tanpa kontrol yang ketat,” kata Ika.

Monash University dan AJI Indonesia melihat pentingnya penghapusan ujaran kebencian secara daring karena mempengaruhi opini publik. Ujaran tersebut dapat diakses melalui internet di mana saja dan kapan saja sehingga pada kondisi sosial yang tidak menentu, misalnya pada masa kampanye di mana perbedaan preferensi politik semakin menguat.

“Ujaran kebencian berpotensi memicu perselisihan sosial. Untuk itu, diperlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak untuk menghentikan penyebaran informasi berbahaya, mendorong penggunaan internet yang aman dan ramah,” tutupnya.[acl]

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.