PT Sawit Panen Terus (SPT) harus bertanggungjawab terhadap praktek ilegal yang telah merambah hutan untuk perkebunan sawit tanpa dilengkapi izin lingkungan. Pemerintah maupun Aparat Penegak Hukum (APH) tidak hanya menyasar pelaku, tetapi juga harus ada audit lingkungan untuk memastik kerugian tersebut.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin mengatakan, selain harus diusut tuntas, karena sudah ada unsur pidana. Pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam untuk secepatnya melakukan audit kerugian lingkungan. Sehingga dalam penegakan hukum tidak hanya menyasar pelaku akan tetapi juga memasukkan kerugian lingkungan.
“Perusahaan PT SPT harus bertanggung jawab kerusakan yang terjadi, harus memperbaiki kerusakan hutan yang telah dirusak, tidak boleh ada pengampunan atas praktek ilegal tersebut,” kata Ahmad Shalihin yang akrab disapa Om Sol, Kamis (23/5/2024).
Terkonfirmasi PT SPT tidak memiliki izin lingkungan apapun berdasarkan surat yang dikeluarkan DLHK Kota Subulussalam tertanggal 15 Mie 2024 perihal Pencemaran Lingkungan. Dalam surat itu dijelaskan bahwa, perusahaan itu melakukan land clearing tanpa dilengkap dengan izin lingkungan, sehingga dinyatakan melakukan pembersihan lahan secara ilegal.
Surat DLHK Kota Subulussalam menanggapi surat yang dikirimkan oleh perangkat gampong Singgersing kepada Walikota dan DLHK Kota Subulussalam pada tanggal 8 Mei 2024. Surat itu menjelaskan tentang kerusakan hutan hutan akibat pembersihan lahan perkebunan sawit milik PT SPT.
PT SPT melakukan land clearing tidak hanya di Gampong Singgersing, tetapi juga masuk di Gampong Batu Napal, Namo Buaya dan beberapa gampong lainnya di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.
Praktek ilegal proses land clearing perusahaan sawit tersebut telah berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan hidup. “Kami minta PT SPT hentikan kegiatannya dan APH harus mengusut tuntas praktek ilegal tersebut. Ini bentuk dari perambahan dan sudah masuk unsur pidana,” kata Om Sol.
Sebuah perusahaan bila hendak membuka lahan untuk perkebunan, terutama komoditas sawit wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).
Hal ini merujuk dari Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada pasal 4 tegas menyebutkan “Setiap rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak terhadap Lingkungan Hidup wajib memiliki AMDAL, UKL-UPL
atau SPPL.
Celakanya, kata Om Sol, ternyata PT SPT belum mengantongi izin apapun saat melakukan land clearing untuk perkebunan sawit yang sudah berlangsung sejak awal 2024. Padahal di lokasi tersebut terdapat beberapa aliran sungai, yaitu sungai Singgersing, Lae Sukat, Rikit dan lainnya.
Dampaknya beberapa sungai tersebut terjadi perubahan, kondisi air menjadi sangat keruh dan bongkahan kayu hanyut bisa mengancam keselamatan warga. Kekeruhan sungai tersebut disebabkan pembukaan lahan hutan menjadi areal perkebunan dengan metode terasering pada hulu sungai-sungai tersebut, tanpa memperhitungkan topografi, aliran air, dan sempadan sungai.
“Pembersihan lahan itu menggunakan alat berat. Ini menjadi aneh kok baru sekarang ribut-ribut, ini kami meyakini ada orang kuat di belakang, jadi kami minta usut tuntas sampai ke akarnya, jangan ada yang beking-membekingi,” pintanya.
Praktek ilegal tersebut, kata Om Sol, selain berdampak keselamatan warga yang tinggal dekat sungai, juga berdampak buruk terhadap ekosistem. Pembukaan lahan tanpa memperhatikan kaedah-kaedah land clearing berdasarkan AMDAL, berpotensi merusak perairan sungai beserta biodiversity, terancam terjadi longsor, banjir bandang dan bahkan terjadi kekeringan.[acl]