Buen Vivier, Peringatan Hari Pekerja Sosial dengan Tagline Masa Depan Bersama untuk Perubahan Transformatif 

Bicara keberfungsian sosialnya, perempuan sering dikaitkan dalam upaya penyembuhan perasaan sesama perempuan seperti “curhat” atau bahasa psikologinya “konsultasi” yang mereka lakukan, dengan tujuan hanya ingin didengarkan bahkan tidak memerlukan solusi.

Penulis : Putri Yosh Dohan (Penyiar Radio Djati FM dan Anggota Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia Aceh)

Sudahkah kita mendukung sesama perempuan dengan segala pilihannya ?

Sampai akhirnya kita memahami bahwa perempuan adalah sosok pribadi yang pada hakikatnya begitu kuat, salah satu peran yang dimainkan sedari remaja, dewasa hingga meniti karir dan memutuskan menikah ini menjadi pilihan yang berat karena mengakhiri masa lajangnya dengan mengarungi hidup bersama belahan jiwa.

Meski mengalami perubahan fisik yang tidak muda lagi dan mentalpun juga ikut berubah, merasakan depresi, jenuh atau bahkan justru bahagia dengan perjalanan barunya. Peran sebagai ibu rumah tangga bagi perempuan memerlukan pengorbanan yang luar biasa besar. Perempuan harus merelakan banyak hal, terutama demi mengurus anak. Betapa dipusingkannya perempuan dengan jadwal 1×24 jam, 7 hari seminggu, setahun penuh tanpa waktu libur untuk mengurus keluarga.

Dan yang membuat kagum adalah, tidak ada dan tidak pernah ada seorang perempuan berkeinginan resign menjadi seorang ibu meski mereka menghadapi berbagai keterbatasan sejak menyandang status menjadi Ibu, tentu berbagai kegiatan, kesempatan bahkan mimpinya pun harus dikalahkan dengan prioritas yang ia pilih yaitu keluarga. Ibu rumah tangga adalah “profesi” multi peran.

Pagi-pagi buta seorang perempuan sudah diharuskan berperan dalam ranah domestik tidak habisnya, diantaranya menyiapkan sarapan atau bekal untuk anak dan suami. Setelah itu, beberapa perempuan akan berperan sebagai driver untuk mengantar anaknya sekolah. Atau bagi beberapa perempuan lainnya yang meniti karier, disaat suami dan anaknya sekolah, dia pun beranjak mencari nafkah dengan meniti kariernya. (Pada) Malamnya perempuan akan berperan menjadi seorang guru bagi anak-anaknya. Selepas itu, perannya akan berubah menjadi perawat disaat salah satu anggota keluarganya sedang sakit. Dan masih banyak lagi peran-peran yang dimainkan perempuan di kehidupan sehari-hari.

Meski sebagian mereka juga tetap meniti karir, dengan berstatus Ibu, berbagi waktu dengan segalanya juga menjadi pilihan meski tergopoh-gopoh dengan segala aktifitas. Ya begitulah pilihan bagi kaum perempuan agar menjadikan dirinya tetap berdaya. Luar biasa.

Sejatinya, menjadi seorang ibu rumah tangga tidak lantas hanya berdiam diri saja di dalam rumah. Bahkan menjadi seorang ibu rumah tangga tetap membutuhkan bekal ilmu yang cukup, yang terkadang didapatnya tidak melulu melalui buku, media sosial dan bacaan lainnya, dan menjadi ibu yang berkarir pun tetap harus memiliki kemampuan serta keahlian dalam mengatur pekerjaan serta jam kerja yang bisa disinergikan dengan statusnya menjadi seorang ibu. Kembali lagi, mereka tidak pernah menyerah pada kehidupan. Mereka terus mempertahankan perannya sebagai seorang ibu.

Kita pahami bahwa setiap perempuan punya mimpi dan ambisinya dalam menolong diri dan juga pada keberfungsian sosialnya, berbagai keterlibatan diri baik dirumah ataupun diluar rumah, tanpa disadari mereka punya kemampuan untuk menghandle segala kemungkinan.

Bicara keberfungsian sosialnya, perempuan sering dikaitkan dalam upaya penyembuhan perasaan sesama perempuan seperti “curhat” atau bahasa psikologinya “konsultasi” yang mereka lakukan, dengan tujuan hanya ingin didengarkan bahkan tidak memerlukan solusi. Perempuan dalam sehari mengeluarkan 20.000 kata untuk dipecahkan dalam setiap waktu, membuat penting adanya perempuan yang memahami aturan main ini agar mereka merasakan bahwa mereka dihargai dan didengarkan, dan tentu peran perempuan dalam hal ini sangat diperlukan keterlibatan pekerja sosial perempuan yang sama-sama memahami tentang perempuan apapun itu.

Melibatkan diri sebagai pekerja sosial memang bukan hal yang mudah bagi seorang perempuan, selain ia harus mampu mendengarkan permasalahan kliennya, ia juga harus mampu menomorduakan keterlibatan perasaannya sendiri dalam setiap kasus, menjadikan perempuan mampu berdiri, berani mengambil keputusan dan percaya diri.  

Perempuan Sebagai Pekera Sosial

Pada moment hari pekerja sosial dunia yang diperingati setiap tanggal 19 Maret, penulis mengaitkan keunikan kaum perempuan dengan keterlibatan dirinya dalam setiap perisiwa, disamping memprioritaskan keluarganya meski stigma masyarakat menganggap bahwa pekerja sosial ialah pekerjaan yang tidak ada masa depannya, tidak punya jam kerja yang sesuai, juga relawan yang tidak dibayar, belum lagi terjadinya eksploitasi, pelecehan dan ketidaknyamanan yang dirasakan, tidak membuat perempuan surut dalam kepedulian sosialnya.

Kenapa demikian ? karena masalah perempuan menjadi fokus utamanya dalam mendukung sesama perempuan, guna menghadirkan perempuan yang berkelas dan mampu menyelesaikan keberfungsian sosialnya dengan baik. Sebagai perenungan, mari kita kembali melihat ibu-ibu kita. Perempuan-perempuan perkasa yang selama ini tidak pernah menyerah akan kehidupan, hadir untuk anak-anaknya bahkan melibatkan dirinya dalam kepedulian kehidupan sosial. Walaupun aktivitas domestik melekat sejak lama pada perempuan.    

Dalam satu dekade terakhir, kiprah perempuan di ranah produktif mulai menunjukkan eksistensinya. Bisa kita lihat bagaimana perempuan dilibatkan secara aktif bekerja di semua lini. Mulai dari bidang ekonomi, sosial, politik hingga agama. Keterlibatan perempuan dalam dunia sosial membuat perempuan merasakan bahwa ada keahliannya yang bisa ditunjukkan dalam kagiatan serta keadaan, salah satunya pada saat bencana gempa terjadi, atau musibah lainnya, peran perempuan begitu terlihat pada saat menyelamatkan asset keluarga seperti berkas-berkas penting rumah tangga serta mengamankan anak-anak dari berbagai kondisi, hal ini menunjukkan nurani perempuan yang begitu peka dan sigap. Banyak anggapan perempuan yang bekerja di ranah produktif akan lebih kesulitan mengambil kebijakan ketimbang laki-laki, sekalipun kompetensinya melampaui laki-laki. Begitu pula dari sisi agama, perempuan pemimpin hingga saat ini masih dianggap tabu dan menyalahi kodrat.

Meski terkadang mereka mendapatkan berbagai nyinyiran, sindiran, dan respon yang tidak mengenakan ketika sedang bekerja dilingkup kasus sosial, tidak menyurutkan semangat mereka, namun terkadang sering kali sesama perempuan kehilangan dukungan sesamanya.

Tanpa disadari keterlibatan perempuan dalam keluarganya juga menjadikan ia sebagai pekerja sosial yang begitu memahami dan mempertahankan skillnya dalam mengasuh keluarga. Saat ini Perempuan yang memilih bekerja harus melakukan dua hal sekaligus, menjadi produktif dengan bekerja di ranah publik dan tetap mengurus urusan domestik.

Hal ini akhirnya menimbulkan masalah baru yaitu perempuan terus saja bekerja untuk mengaktualisasikan dirinya namun impiannya tidak terbatas hanya bekerja saja dan menghasilkan pundi-pundi ekonomi agar mendapat penghargaan dan perlakuan yang lebih baik dari suami serta tidak menggantungkan hidupnya kepada laki-laki. Sedangkan cita-cita perempuan harus terkubur mati bersama tumpukan beban yang terus saja membuatnya mati perlahan.

Sebagai pekerja sosial yang paham akan kontribusinya dalam dunia sosial, menjadi seorang Ibu mendukung perempuan lainnya menjadi solusi terbaik dalam menyelamatkan bangsa. Ada kalimat yang mengatakan “bahwa ibu yang bahagia akan menghadirkan generasi yang bahagia dan bersahaja”.

Oleh karena itu pada peringatan hari pekerja sosial penulis mengucapkan selamat kepada perempuan-perempuan yang berkiprah sebagai pekerja sosial dan ibu rumah tangga, kalian hebat dan menujukkan kedunia bahwa stigma dan respon sebagian orang tentang pekerjaan sosial yang ditekuni bukanlah suatu pekerjaan yang abal-abal melainkan pekerjaan yang sangat mulia. *****

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.