Zulfakri (60), warga Gampong Lubok, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar sempat panik saat menemukan dua ekor sapinya terkulai lemas di kandang awal Mei 2022 lalu. Jangankan bergerak, bersuara pun tak mampu.
Ada bekas luka di kaki, air liurnya berbusa dan terus mengalir dari mulut, tanduk dan tubuhnya panas mencapai 40 derajat celcius. Semakin Zulfakri khawatir, kedua sapinya tak ada nafsu makan.
“Saat tau sapi saya sakit dan gejala aneh, saya susah dan panik,” kata Zulfakri, Kamis (12/05/2022).
Zulfakri semakin khawatir, sapi milik rekannya, Ayah Li dan satu peternak lainnya di Gampong Lubok ikut mengalami gejala yang sama. Sapi-sapi mereka biasanya bergerak lincah, kini hanya terkapar tak berdaya.
Ia pun bergegas menghubungi dokter hewan di Kecamatan tersebut untuk memeriksa hewan ternaknya yang terkulai lemas di kandang. “Ini kok lain, maka saya telepon langsung dokter hewan,” ucapnya.
Setelah menunggu satu jam, dokter hewan pun tiba memeriksa ternak mereka. Dari hasil diagnosa awal, kata Zulfakri, dokter hewan menyebutkan ada gejala klinis Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), kuku kaki sapi mulai membusuk hingga tak bersuara seperti biasanya.
“Dokter hewan langsung menyuntikkan vitamin dan obat penurun demam untuk mengobati sapi-sapi tersebut,” jelasnya.
Zulfakri berupaya berbagai cara untuk menyelamatkan dua ekor sapinya. Tak hanya secara medis, dia juga mencoba secara tradisional, yaitu dengan memberikan madu dan buah-buahan, seperti pepaya dan semangka.
Zulfikri tak menyangka, sapi yang dibeli pasar hewan Sibreh, Aceh Besar terinfeksi PMK. Padahal sebelumnya, setiap tahun dia beli hewan ternak di pasar tersebut, baik untuk persiapan Idul Fitri, Idul Adha maupun hari-hari besar keagamaan lainnya di Aceh.
Bagi Zulfikri, memelihara sapi merupakan sumber utama mata pencaharian keluarganya. Bermodal pas-pasan, kekhawatiran besar dia bila mati, tak ada modal lain untuk membeli lain.
“Dan harus ngumpulin modal lagi dari nol, jumlahnya itu tidak sedikit, butuh waktu untuk mengumpulkannya kembali agar sanggup beli sapi lagi,” tuturnya.
Hal yang sama juga diutarakan Ayah Li, empat ekor sapi miliknya juga mengalami gejala yang sama dengan sapi-sapi miliknya Zulfakri. Gejala awal sapi-sapi miliknya tidak mau makan dan mengeluarkan liur yang sangat banyak, namun belum ada yang lumpuh dan luka kakinya.
Ia mengaku sangat khawatir saat mengetahui sapi-sapinya sakit, hingga susah tidur. Setiap sejam sekali ia mengecek kondisi sapinya. Bahkan bela-belain sampai berjaga di kandang menjaga hewan ternak miliknya.
“Saat tau sapi saya sakit, saya mulai takut sampai gak bisa tidur, satu ekor sapi mati aja kita bisa rugi belasan juta, apa lagi kalau ke 4 ekornya mati, bisa rugi puluhan juta. Dan saya harus ngumpulin modal lagi dari awal,” kata Ayah Li.
Indonesia sedang darurat wabah ternak. Penyakit mulut dan kuku menyerang sapi ternak pertama kali di Gresik, Jawa Timur pada 28 April 2022. Lalu merembet ke wilayah lain, termasuk Aceh mulai terjangkit di beberapa kabupaten.
Data Kementerian Pertanian Republik Indonesia hingga 10 Mei 2022 jumlah hewan yang tertular virus tersebut mencapai 6.720 ekor, tersebar di Aceh, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo mengatakan, wabah PMK ini memang berbahaya untuk hewan ternak, kendati tidak menular atau tidak beresiko pada kesehatan manusia.
Wabah yang sudah sejak 32 tahun tidak ditemukan di Indonesia menjadi peringatan untuk penanggulangannya. Karena PMK mulai menyebar hampir seluruh penjuru Nusantara ini.
“Yang perlu kita pahami penyakit PMK ini memang berbahaya bagi hewan, tetapi tidak menular atau tidak beresiko pada kesehatan manusia,untuk itu kita akan lakukan berbagai upaya untuk mengatasi PMK ini” ungkap Syahrul Yasin Limpo dikutip dari laman pertanian.go.id.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah dalam pers rilis menyebutkan, per 22 Mei 2022, kejadian PMK terjadi pada 16 provinsi, dengan jumlah hewan sakit 20.723 ekor, atau 0,38 persen dari total populasi ternak 5,4 juta ekor di wilayah tersebut.
Nasrul menyebutkan, ternak sakit yang telah berhasil diobati mencapai 33,29 persen dan di atas 50 persen sudah sembuh. Strategi pencegahan yang dilakukan dengan cara melokalisir kasus hanya pada kandang ternak yang terinfeksi PMK.
Dikutip dari bisnis.com, Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat telah ada 82 kabupaten dengan 5,45 juta ekor hewan yang terkena PMK atau mencapai 39,4 persen dari total hewan ternak nasional pada akhir 2021.
Kepala Badan Karantina Pertanian Kementan, Bambang menyebut pemerintah telah membagi kawasan hewan ternak selama wabah PMK menjadi empat bagian, yakni daerah wabah, daerah tertular, daerah terduga, dan daerah bebas. Daerah wabah merupakan yang telah resmi ditetapkan mengalami wabah PMK oleh Kementan.
Kepala Dinas Peternakan Aceh, Rahmandi mengatakan, saat ini pihaknya terus mengupayakan untuk pencegahan meluasnya penyebaran PMK di Aceh dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang memiliki ternak dan melakukan pengujian laboratorium pada sapi yang terindikasi menular PMK.
Saat ini Provinsi Aceh masih sedang menunggu hasil laboratorium dari sampel-sampel sapi yang terkena PMK. Data per 19 Mei 2022, ada 5.159 ekor sapi di Aceh yang terkena PMK, 22 ekor mati, 1.671 ekor masih suspect yang tersebar di delapan kabupaten dan 867 ekor sembuh atau 16,7 persen.
Rahmandi juga mengatakan kasus PMK tertinggi terjadi di Aceh Tamiang dengan jumlah kasus 3.488 ekor, 13 ekor mati, potong paksa dua ekor dan sembuh sebanyak 867 ekor atau 16,7 persen, di Aceh Timur ada 179 kasus PMK, Aceh besar yang awalnya 50 Kasus dalam sepekan terakhir terus bertambah menjadi 156 Kasus.
Sedangkan untuk ternak yang mati secara keseluruhan di Aceh sebanyak 22 ekor, 13 ekor di Kabupaten Aceh Tamiang, 2 ekor kota Langsa dan 6 ekor dari Aceh Timur dan 1 ekor di Aceh Besar.
Sedangkan untuk Aceh Besar, kabupaten yang berdampingan langsung dengan pusat ibu kota Provinsi Aceh sudah 438 kasus ditemukan tersebar di 12 kecamatan dan 7 ekor mati. Untuk kasus tertinggi penyebaran PMK di Aceh besar terjadi di Kecamatan Lhoknga 121 kasus, Montasik 96 kasus dan Krueng Barona Jaya 40 kasus.
Indonesia Rawan Penyelundupan Ternak
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Djuanda Bogor, Dr. Ir. Dede Kardaya, M.Si dikutip dari laman resmi unida.ac.id menyebutkan, wabah PMK memang tidak menyerang manusia, tetapi hanya berbahaya untuk hewan ternak.
Dede menjelaskan, PMK bukan hal yang baru dan kerap muncul di berbagai negara. Tidak sedikit negara yang menganggap wabah ini sebagai hal yang biasa.
Wabah PMK di Indonesia telah terjadi sejak dua abad lalu, tepatnya pada tahun 1887 silam. Kala itu wabah PMK disebut muncul melalui sapi yang diimpor dari Belanda.
Setelah 1887 masuk, Indonesia beberapa kali menghadapi wabah ini. Wabah PMK terakhir yang dihadapi Indonesia terjadi pada tahun 1983 yang berhasil diberantas melalui program vaksinasi.
Pada tahun 1986 Indonesia benar-benar dinyatakan sebagai negara bebas penyakit mulut dan kuku. Lalu, status ini diakui oleh ASEAN pada tahun 1987, dan secara internasional oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties-OIE) pada tahun 1990.
Kasus ini kembali muncul setelah Indonesia dinyatakan bebas PMK lebih dari tiga dekade lalu. Kasus pertama kali ditemukan di Gresik, Jawa Timur pada 28 April 2022, dan telah mengalami peningkatan kasus rata-rata dua kali lipat setiap harinya.
Penyakit mulut dan kuku (PMK) atau Foot and Mouth Disease (FMD) pada ternak merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus genus Aphtovirus, yakni Aphtaee epizootecae (virus tipe A) keluarga picornaviridae, yang bersifat akut dan sangat menular pada hewan berkuku genap/belah. Penyakit ini dapat menyerang ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba, rusa), babi, unta, dan beberapa hewan liar.
Gejala klinis PMK antara lain demam tinggi bisa mencapai 41 derajat celsius dan menggigil, tidak nafsu makan (anorexia), penurunan produksi susu drastis pada sapi, kehilangan bobot badan, kehilangan kontrol panas tubuh, myocarditis dan abortus pada hewan muda, pembengkakan limfoglandula mandibularis, hipersalivasi (air liur berlebihan), serta adanya lepuh dan erosi di sekitar mulut, moncong, hidung, lidah, gusi, kulit sekitar kuku, dan puting ambing.
Menurut Dede, Indonesia memiliki puluhan ribu pulau dan ratusan pelabuhan besar dan kecil, sehingga rawan penyelundupan ternak dan bahan asal hewan (daging, kulit, dll.) dari negara Endemis PMK seperti India, Brasil, Malaysia, Thailand, Filipina dan sekitarnya.
“Penyakit ini dapat menyebar dengan sangat cepat mengikuti arus transportasi daging dan ternak terinfeksi,” katanya.
Penularan terjadi melalui (1) kontak langsung antara hewan rentan/peka; (2) kontak tidak langsung antar hewan rentan dan manusia, pakaian, sepatu, peralatan kandang, kendaraan, limbah yang tercemar oleh virus (dari hewan yang terinfeksi), dan (3) melalui udara (terutama babi yang terinfeksi banyak menyebarkan virus melalui udara dari aktivitas pernafasannya). Penyebaran melalui angin ini mencapai 60 km di wilayah darat dan 300 km di wilayah laut.
Untuk menghentikan wabah PMK di Indonesia. Dede menyarankan dengan menghentikan sementara lalu lintas hewan hidup (keluar dan masuk daerah wabah) dan pengendalian ketat produk hewan (berbasis risiko). Tujuannya adalah agar virus tidak menyebar ke daerah lain melalui lalu lintas ternak dan produk hewan yang berisiko tinggi.
Selain itu, dengan cara mengisolasi hewan yang terinfeksi dan diberikan terapi suportif, vaksinasi dan peningkatan biosecurity. Biosekuriti ini mencakup biosekuriti barang, kandang, karyawan peternakan, tamu kunjungan, kendaraan, dan ternak.
Sementara itu Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih justru menuding PMK muncul kembali di Indonesia diduga karena impor daging dan ternak lainnya. Padahal Indonesia sejak 1990-an sudah bebas dari PMK dan baru sekarang muncul kembali setelah 32 tahun mampu dikendalikan virus tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah impor daging sapi pada 2021 tertinggi selama 10 tahun terakhir. Satu tahun sebelum wabah PMK muncul kembali di tanah air.
Pada 2021 impor daging sapi sebesar 273,53 ribu ton, jumlah itu naik 22,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 223,42 ribu ton.
Nilai impor daging sapi pun naik menjadi US$ 948,37 juta atau sekitar Rp 13,64 triliun pada 2021 (kurs US $1 = Rp 14.388) dalam 10 tahun terakhir. Jumlah ini naik 35,83 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar US $ 698,18 juta.
Menurut Henry, tingginya jumlah impor daging di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini telah berdampak buruk terhadap kesehatan hewan. Sehingga berdampak munculnya kembali PMK di Nusantara pada 2022 yang membuat peternak rugi.
“Virus PMK ini muncul diduga karena impor daging, sapi dan ternak lainnya dari luar yang meningkat dari negara-negara yang masih ada zonasinya wabah PMK,“ kata Henry (12/05/2022) melalui siaran pers.
Dampak buruk yang ditimbulkan oleh adanya PMK di masyarakat adalah munculnya kepanikan dan kekhawatiran mengkonsumsi hewan. Tentunya akan berimbas pada penurunan kebutuhan (demand) terhadap daging dan susu, yang tentunya akan merugikan peternak dan usaha peternakan.
Ancaman ke depan dari PMK di dalam negeri adalah keterbatasan bahkan penurunan ketersediaan pasokan (supply) hewan hidup dan produk hewan (daging dan susu).
Persoalan lain yang timbul penghentian sementara impor komoditas peternakan yang berasal dari negara wabah. Karena negara tujuan ekspor yang bebas PMK akan menolak pemasukan produk peternakan dari daerah wabah, bahkan bisa lebih parah lagi adalah penghentian impor jenis komoditas pertanian lainnya oleh negara bebas PMK.
Oleh sebab itu dua peternak di Aceh Besar, Zulfakri dan Ayah Li berharap pemerintah, khususnya Aceh Besar agar cepat mengatasi masalah ini. Jika wabah ini semakin meluas, maka akan berdampak pada mata pencaharian masyarakat, apa lagi mau menjelang meugang Idul Adha dan Qurban.[acl]