Minim Pengawasan, Penyebab Masih Terjadi Perbudakan terhadap Awak Kapal Perikanan Asing

Rumoh Transparansi, sebuah lembaga yang bergerak dibidang keterbukaan informasi dan pelayanan publik, menemukan masih adanya praktik perbudakan terhadap pekerja migran Awak Kapal Perikanan, khususnya pekerja asal Aceh yang bekerja pada kapal asing. Hal itu terjadi karena proses rekrutmen yang tidak sesuai aturan dan perlindungan yang lemah.

Tim kajian Rumoh Transparansi, menyebutkan bahwa standarisasi pengawasan ketenagakerjaan dan pelayanan pengurusan dokumen dan perizinan bagi pekerja migran awak kapal perikanan, masih belum baik bahkan cenderung illegal. Hal ini berdasarkan  Studi kasus di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sebagai pembanding.

Direktur Rumoh Transparansi, Crisna Akbar, dalam diseminasi hasil kajian, Senin (31/10/2022) mengatakan masalah yang dihadapi oleh pekerja migran sangat kompleks, mulai dari sebelum berangkat hingga setelah selesai kontrak.

“ Sebelum berangkat atau saat rekrutmen, pekerja kerap menjadi objek yang dimanfaatkan oleh kaki tangan perusahaan penyalur atau agency. Kaki tangan agen diduga menerima sejumlah uang dari perusahaan untuk merayu atau membujuk calon pekerja migran,” sebut Crisna Akbar.

Tidak tertutup kemungkinan, tambah Crisna,  dokumen yang diperoleh pekerja migran tidak lengkap. Sementara saat telah bekerja, awak kapal perikanan diberlakukan tidak manusiawi seperti mengalami pemukulan, bekerja melebihi waktu kesepakatan, dan upah ditahan.

“Bahkan tidqak jarang ada pekerja yang meninggal di atas kapal, namun jenazahnya dilarung ke laut,” kata Crisna.

Crisna mengatakan pada tahun 2019 terjadi peristiwa pelarungan jenazah AKP yang berasal dari Pidie.   Jenazah tersebut dilarungkan di tengah laut wilayah

perairan Chili. Diduga kapal tersebut adalah kapal perikanan asing yang bernama FV Wei Yu 18. Tidak sampai di sana, hak korban seperti asuransi dan upah tidak dibayar lunas.

“Kasus ini mengindikasikan bahwa adanya perbudakan yang dirasakan oleh para AKP yang bekerja di kapal asing,” kata Crisna.

Temuan penting lainnya dari kajian tersebut adalah, lemahnya koordinasi antar instansi/lembaga pemerintah yang menangani pelayanan perizinan dan pengawasan.

“Bahkan, lembaga/instansi terkait tidak memiliki data jumlah pekerja migran AKP asal Aceh. Padahal para pekerja migran mengurus dokumen kepada instansi terkait, seperti kantor imigrasi dan kantor syahbandar,” ungkap Crisna.

Crisna mengatakan tujuan kajian itu dilakukan untuk memperlihatkan ke publik realita yang dialami oleh para pekerja migran AKP dan untuk mendorong penguatan perlindungan.

Dalam diskusi yang sama, Sekretaris Jenderal SBMI, Bobi Anwar Ma’arif, mengatakan perlu adanya upaya perlindungan yang kuat terhadap pekerja migran, salah satu dengan regulasi tingkat daerah atau qanun.

Sementara itu, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty  mengatakan pengawasan perlu diperkuat agar potensi terjadi pelanggaran HAM pada pekerja migran dapat ditekan.

Dian berharap rapat koordinasi antar lembaga/badan pemerintah terkait pelayanan dan perlindungan pekerja migran dilakukan berkala. (Yan)

Tulisan Terkait

Bagikan Tulisan

Berita Terbaru

Newsletter

Subscribe to stay updated.